Kamis, 14 Agustus 2014

D A S A R H U K U M K E P E M I L I K A N TANAH INDONESIA KELUARGA BESAR NJIMAS ENTJEH SITI AMINAH

D A S A R H U K U M K E P E M I L I K A N
KELUARGA BESAR
NJIMAS ENTJEH SITI AMINAH (Osah)
Alias MEVRAU JUSTINA REIGENT
JOHN HENDRY VAN BLOOMESTEIN

“ Mengupas Tuntas kasus Pertanahan berdasarkan Fakta Hukum ”

Materi ini merupakan kajian mendalam mengurai kasus hukum pertanahan Indonesia yang telah menjadi ‘momok’ dikalangan komunitas hukum khususnya dan masyarakat umumnya, terjadinya permasalahan ini berkaitan erat dengan di’kotomi’nya hak - hak rakyat sebagai objek penderita,akibat kultur birokrasi yang menyisihkan aturan ‘moral ethik’ dalam produk kebijakan tanpa menggunakan kaidah hukum yang berlaku.Dengan mengatas namakan hukum dan keadilan untuk semua, Keluarga Besar Njimas Entjeh Siti Aminah sebagai salah satu korbannya melalui mekanisme prosedural hendak mengajak semua pihak melakukan aksi moral dalam memerangi praktek manipulatif yuridis pertanahan demi terbangunnya dialektika ‘fair play’ kebijakan yang ber’sinergi’ dengan esensi keadilan.

MAKSUD DAN TUJUAN

Pembangunan hukum di wilayah pertanahan semestinya menekankansasaran dalam membina sikap mental pelaku birokrat danmengkondisikan piranti hukum sesuai dengan kemurnian maksud atas dilahirkannya Undang Undang, disisi lain adanya kemauan melekatkan ketertiban hukum di tengah masyarakat yakni dengan mewujudkan kepastian hukum yangberkeadilan, dan dihargainya hak kepemilikan rakyatsesuai koridor hukum maupun aturan moral yang berlaku. Hal inilah yang menurut hemat kami harus mendapatkan skala prioritas, mengingat timbulnya tumpang tindih kepemilikan (sertifikat ganda)selama ini sudah sedemikian meresahkan kita semua. Secara akumulatif kasus pertanahan ini tidak dapat dihitung lagi berapa persisnya, namun dengan sekedar menyuarakan opini lewat media ataupun mimbar dialogis, diskusi, seminar dan semacamnya tidak akan menghentikan dialektika kekusutan yang sangat tidak manusiawi ini. Perlunya kitabangun kebersamaan sikap dalam merumuskan siasat yangakseleratif dan kontekstual dengan memancangkan tekad aksiyang mampu menerobos pusat nurani aparatlah kiranya dapat mencapai hasil yang paling konkrit.

Dilatar belakangi kenyataan oleh terabaikannya hakekat kemanusiaan dalam aspek hukum pertanahan terutama dengan lahirnya kerancuan hak kepemilikan yang disebabkan olehketidak tertiban administrasi dan terutama unsur manusiasebagai sumber dari inti masalah, hendaklah menjadi pemacu kebersamaan kita untuk mengurai benang kusut ini menjadi karya anak bangsa sekarang demi anak cucu kita nanti, mengingatmendiamkan perilaku yang lari dari roh kemanusiaan ini tidak sekedar dosa kita pada Allah namun juga kepada segenap anak keturunan kita.

Melalui konsep ini kami serukan: “Mari bangkit dari tidur panjang kita yang telah mendiamkan persoalan bangsa yang sangat memprihatinkan ini” agar dipecahkan demi membangun ahlak bangsa dan atau kharakter kebangsaan (character building) yang ‘sehat’ jasmani rohani serta dalam rangka meningkatkan harkat martabat dalam berbangsa dan bernegara. Untuk itulah melalui konsepsi ini kami mengetuk hati kepada:

1. Pemerintah Republik Indonesia dan Lembaga Tinggi Negara
Yaitu kepada seluruh Pejabat/Instansi yang terkaitdengan permasalahan pertanahan, kami mengharapkan kesadarannya untuk melakukan perubahan sikap mentalyang selaras
-2-
dengan nilai nilai dasar kemanusiaan dalam mensikapikasus yang timbul akibat kesalahan kebijakan oknum pejabat yang terdahulu dan merubah perilaku yangme’lenceng’ jauh dari segi keadilan. Mengingat kebijakan yang ‘sesat’ oleh Pemerintahan yang lalu adalah juga menjadi tanggung jawab moral Pemerintah sekarang, Hak hak Rakyat yang telah diakui secara hukum harus dihormati sesuai kadar kemanusiaan yang melekat terhadap perjuangannyadalam memperoleh haknya tersebut. Pembelaan dalam dimensi perlindungan hak rakyat adalah bagian integraldari tanggung jawab Pemerintah sebagai ‘police state’ karena dibelahan dunia manapun ketentuan tersebut menjadi budaya dan strategi politik maupun tanggung jawab Pemerintah, apalagi dalam kaitannya sebagai Negara Hukum yang berdaulat adil dan makmur, dimana hak rakyat pun harus memiliki kedaulatan yang harus diayomi sesuai norma keadilan dan aturan hukum yang berlaku.

Kita masih ingat terjadinya Revolusi rakyat Indonesia atas:
a. Kemerdekaan Republik Indonesia, tahun 1945 dari belenggu penjajahan
b. Kejatuhan Pemerintahan Ir. Soekarno, tahun 1965, yang memiliki esensi dalam ketidak
mampuannya untuk mengentaskan ambruknya perekonomian dan perpolitikan dalam
Negeri
c. Runtuhnya Dinasti Soeharto, tahun 1997, yang memiliki esensi aktual atas tuntutan
dilakukannya reformasi menyeluruh akibat dikebirinya hak azasi manusia dan
kegerahan rakyat atas ‘status quo’ yang totaliterditambah semakin merajalelanya
korupsi yang melambangkan keserakahan danbobroknya birokrasi
Hendaklah dijadikan penyadaran: “Betapa rakyat sangat muak dengan segala bentuk korupsi, kolusi, penindasandan sistem yang meng’kangkangi’ hak hak rakyat”.

Kita sepakat untuk tidak terjadi revolusi lagi, sebagai akibat ketidak percayaan rakyat kepada pemerintah yangtidak melakukan apapun dalam memenuhi tuntutan reformasi disegala bidang. Untuk itu melalui kesempatan ini kami mengingatkan sekaligus sebagai bentuk ‘seruan moral’ agar Pemerintah melakukan perombakan sikap mental birokrat untuk mengedepankan kepentingan rakyat terutama dalam wilayah pertanahan, yaitu pengembalian hak milik rakyat secara syah atas tanah yang telah di’klaim’ sebagaiMilik Negara maupun terbitnya hak lain diatas objek tanah yang sama, sebagai akibat kesalahan kebijakanyang penuh aroma ‘uang’ ataupun pemutar balikan fakta hukum.

2. Praktisi Hukum Pertanahan
Sebagai sesama pemerhati sosial kemasyarakatanterutama dalam hukum pertanahan, kami mengajak para praktisi untuk bersatu membentuk Komisi Independen Bela Hukum Pertanahan (KIBHuP) yang membedakan dengan Wadah yang sudah ada terutama dalam melakukan pengkajian lebih mendasar terhadap pendalaman materi Kasus Pertanahanmaupun gerakan moral kebangsaan yang bersifat independen ( tidak disetir kekuatan manapun ),melakukan gerakan revolusioner dan memiliki daya dobrak / menjelajah langsung hingga sarang para ‘penyamun’ yang selama ini menjadi borok dan biang kerok masalah pertanahan di Indonesia, kami menganggap situasi yang ‘begitu liar’ selama ini harus segera disikapi / diatasi dengan segera, demi tanggung jawab kita sebagai Insan Hukumyang ‘nota bene’ berada di ‘gardu keilmuan terdepandalam penegakan Hukum Pertanahan di Bumi Nusantara ini.
Mengingat ketidak adilan di hukum pertanahan memiliki esensi pelanggaran terhadap hak azasi manusia, makapen’canangan’ pembentukan gerakan ini juga hendak merujuk pada ketentuan Piagam Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Hak Azasi Manusia dari hasil Konferensi tingkat tinggi sedunia,disamping itu terbinanya kerja sama secara koordinatif dengan Organisasi sejenis di belahan dunia lain akan memberikan sumbangsih dalam membentuk format / ‘proto type’ Wadah dimaksud yang ‘kredible’, ‘acceptable’ dan memiliki mobilitas dalam menyelesaikan aspek hukum yangdiperjuangkan.

Kebersamaan sikap ini juga dilandasi kepentingan ‘logic’ ataster’aniaya’nya hak rakyat yang sesungguhnya harus dihormati dan dibela namun akibat ‘serba’ ketidak berdayaannya maupun demikian tajamnya cengkeraman kekuatan lain (konspirasi jahat oknum pejabat denganspekulan tanah berkantong tebal berhati kanibal), rakyat yang memang lemah terinjak injak pula harkat danmartabatnya. Semakin maraknya
-3-
persoalan ini telah mendudukan pada tercabiknya moralitassebagai bangsa yang beradab bersendikan hukum, agar diangkat sebagai penggerak motivasi yang ‘magis’ untuk menyelami masalah disertai ke’gamangan’nya dalammerespon ajakan moral ini yang senafas denganpertanggung jawaban kita sebagai Warga Negara yang memiliki kepentingan dalam mengangkat supremasi hukum atas terbinanya hakekat keilmuan yang telah kita dalami.
Dengan berpijak pada sedemikian esensialnya permasalahan yang dihadapi, maka kami merasa perlu melakukan pembahasan berikut ini sebagai bahan rujukan (‘study’ kasus) untuk mendapatkan tambahan pendalaman materi yang hendak kita rumuskan bersama.

FAKTA HUKUM I
(Pembelian Pertama)

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pada tahun 1870 di era Pemerintahan Hindia Belanda, diberlakukan Undang Undang ‘Agrarische Wet’ (AW) sebagai akibat desakan para pengusaha besar yang bergerak dibidang Agrobisnis, hal ini sejalan dengansemangat liberalisme yang berkembang, menuntut penggantian sistem monopoli Negara dan politik ‘cultur stelsel’ (kerja paksa) dengan sistem persaingan bebas dan sistem kerja bebas sesuaikonsepsi kapitalisme liberal, disamping itu adanya nuansa kemanusiaan dari pemerhati sosial di Belanda atas situasipenderitaan sangat hebat dikalangan kaum tani di Indonesia.
Ketentuan pelaksanaan ‘AW’ ini diatur dalam bentuk Peraturan dan Keputusan, salah satunya apa yang dikenal sebagai ‘Agrarisch Besluit’ (diundangkan dalam S. 1870-118), dari Ketentuan inilah melahirkan hak Eigendom (kepemilikan), Erfpach (guna usaha),Opstal (guna bangunan), Ver huur (sewa), Concessie (untuk perkebunan besar) dsb.

Dalam pada itu tahun 1937-1940, Njimas Entjeh Siti Aminah(Osah) sebagai Warga Asli Pribumi melalui Perusahaan yang didirikan bernama NV. Bloomkring melakukan serangkaianpembelian (pertama) tanah Negara dalam bentuk ‘Hak Eigendom’ di beberapa lokasi atas perwujudannya dalam pemanfaatan dana yang dihimpun selama 25 tahun lamanya sebagai istri seorang Gubernur Jendral Pemerintahan Hindia Belanda yang kala itu dikalangan warga pribumi dikenal santun, bijak dan berjiwa sosial tinggi yang membedakannya dengan pejabat sebelumnya, bernama John Henry Van Bloomestein (seorang duda), keinginan mempersunting warga pribumi adalah sebagai perwujudan kedekatan dengan ‘aroma’ kepribadian Indonesia.
Pelaksanaan pembelian tersebut semuanya telah disyahkan dan didaftarkan pada Kantor Overschrijvings Ambtenaar sesuaiOverschrijvings Ordonnatie S. 1834-27 yang dipetakan kantorKadaster menurut Peraturan Engelbrecht. Bukti kepemilikan tersebut ditandatangani oleh pejabat yang saat itu berwenang yakniPieter Cornelis Nelson. Selanjutnya serah terima hak atas tanah (yuridische levering) dicatat pada Microchip Data – ARNAS(Arsip Nasional Belanda) dan sekarang dapat pula di cek kebenarannya di kantor Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Adapun bukti kepemilikan sebagai pengesahan atas pembelian(pertama) tanah dimaksud berupa: a. Acta Van Eigendom / Akta Hak Milik
b. Grosse Acta / Riwayat / Asal usul / Sejarah Tanah
c. Meetbrief Van Ner Parcel / Surat Ukur
d. Omschrijving / Data Uraian
e. Peta Eigendom

Sesuai bunyi pasal 570 KUUHPdt, ‘Eigendom’ memiliki arti sebagaiHak untuk dengan leluasa menikmati kegunaan sesuatu benda dan untuk berbuat bebas tehadap benda yang bersangkutan dengan kekuasaan sepenuhnya. Dengan demikian adanya corak:kewenangan individual yang luas dan kuat, disamping memiliki sifat ‘pertuanan’ yang begitu istimewa juga bersifat kenegaraan /kebangsawanan (Land heerlijke rechten), hal inilah yang membedakan dengan jenis hak lainnya.
Pembelian tanah dimasud oleh Njimas Entjeh dilatar belakangi adanya keinginan untuk:
a. Dikelola sebagai lahan pekebunan dan pertanian terutama yang memiliki kesesuain sifat
tanaman dengan unsur tanah masing masing lokasi.
b. Memanfaatkan areal pertanian dalam memberdayakan kaum petani yang selama itu
menghadapi kesulitan ekonomi yang cukup parah akibat perilaku kaum feodal yang lebih
-4-
bersikap sebagai ‘penghisap’ dari pada menghargai hak hak petani, hal demikian berbalik
arah dengan pola yang dikembangkan oleh Njimas Entjeh sebagai warga pribumi asli
yang memiliki pendekatan sosial kemasyarakatannya,berkehendak membuka lapangan
pekerjaan yang seluas mungkin dalam rangka peningkatan taraf hidup mereka melalui
sistem upah kerja diatas rata rata.
c. Memiliki lahan di wilayah perkotaan, semata mata untuk investasi jangka panjang dan
mempercayakan masyarakat sekitar untuk memanfaatkan sebagai areal pertanian
terbatas, agar dapat mencukupi kebutuhan keluarganya dari hasil panen yang bisa di
peroleh.
d. Memiliki tanah yang telah berdiri bangunan rumah / gedunguntuk disewakan peminat
sebagai sarana perkantoran ataupun tempat tinggal, sementara dibeberapa lokasi ada
yang dimanfaatkan pihak lain tanpa diminta uang sewa.

FAKTA HUKUM II
(Bukti Verponding Indonesia)

Masa Kemerdekaan Republik Indonesia, Aset tanah milik Njimas Entjeh tetap tidak mengalami perubahan dalam pengelolaannya selama beberapa tahun kemudian mengingat sejak didirikan NV. Bloomkring memang memanfaatkan managerial warga asli pribumi dari kalangan berpendidikan Sekolah Rakyat (SR) sampaiPerguruan Tinggi, sehingga hengkangnya Belanda maupun Jepang dari Ibu Pertiwi tidak memerlukan perubahan management apapun karena segala kebijakan sepenuhnya memiliki ‘roh’ Keindonesiaanyang melekat terhadap kepribadian Njimas Entjeh, apalagi sejak awal tahun 1940 pemegang hak warisnya H. Arifin yang juga sebagaianak satu satunya (anak angkat. lihat Kronologis Hak Waris Harta Peninggalan Njimas Entjeh, red) telah mengendalikan management sepenuhnya dengan kelekatan nuansa Nasionalismeyang dimilikinya.
Adanya ketentuan tentang pembayaran pajak hasil bumi(Verponding Indonesia) bagi pemilik lahan, sejak tahun 1948 Pewaris Harta Peninggalan Njimas Entjeh yang saat itu sudah diserahkan dan dikendalikan oleh anaknya bernama H. Zainal Asikin bin H. Arifinsenantiasa memenuhi Peraturan tersebut, betapapun pada awal diberlakukannya, secara umum para pemilik Aset Tanah belum terbina kesadarannya dalam membayar pajakyang menjadi Pilar Sumber Pendapatan Negara dalam membiayai jalannya roda Pemerintahan.

Sedemikian pentingnya penerimaan dari unsur fiskal ini bagi Negara yang sama sekali belum memiliki ‘fundamental’ ekonomi, mendorongjiwa Nasionalisme sejati seorang H. Zainal Asikin dalam usahanya mencari dana dari hasil pinjaman beberapa pihak dalam rangka membayar kewajiban kepada Negara untuk seluruh Aset tanah yang dimiliki. Perlu diketahui upaya mendapatkan keuangan tersebut diperoleh sebagian besar dari kredit Perbankan maupunPerseorangan / Pengijon dengan beban bunga yang cukup besar, hal itu dilakukan sepanjang tahun hingga diberlakukannya UUPA tahun 1960. Walaupun di banyak objek lahan yangmemanfaatkan secara ekonomis adalah masyarakat sekitar(tanpa dipungut uang sewa sepersen pun, betapapun sangat memungkinkan untuk itu), sebagai buah perwujudan sikap sosialyang melekat kepada segenap keturunan Njimas Entjeh.

Perjuangan (dengan segala jerih payahnya) dalammembayar pajak hasil bumi ini menjadi kesatuan sikap patriotisme kebangsaan terhadap situasi keuangan Negara yangsangat memprihatinkan, hal tersebut didukung belum kondusifnya situasi keamanan nasional, akibat dunia perpolitikan yang penuh pergolakan sebagai pencerminan kekuatan kepentingan antar golongan dan faksi faksi penuh friksi di dalam masyarakat yang masih mencari bentuk di Negara yang baru terbebas dari belenggu penjajah. Namun sedemikian sulitnya dalam mendapatkan sumber keuangan untuk memenuhi iuran pajak, H. Zainal Asikin dapat melunasinya tepat waktu sesuai Ketentuan, hal ini dilakukan agartetap mendapatkan ‘status’ Hak Kepemilikannya (struk bukti pembayaran masih tersimpan lengkap).

Atas kedisiplinannya sebagai penyumbang pendapatan Negara dari unsur pajak
yang cukup besar dan sangat berarti ini, H. Zainal Asikin
pernah mendapatkan pujian dari petinggi negara saat itu.
-5-
Struk bukti pembayaran pajak hasil bumi yang dibayarkan sebelum berlakunya UUPA merupakan bentuk Verponding Indonesia dan dinyatakan memenuhi persyaratan sebagai dasar memperolehSertifikat Hak Milik (SHM) sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 maupun penggantinya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, tercermin pada Pasal 24 Ayat 1:
Pembuktian hak hak atas tanah yang sudah ada dan berasal dari konversi hak hak lama, data yuridisnya dibuktikan dengan alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan ybs. yang kadar kebenarannya oleh panitia Ajudikasi / kepala kantor pertanahan dianggap cukup sebagai dasar mendaftar hak, pemegang hak dan hak hak pihak lain yang membebaninya.

Sementara penjelasan tentang alat bukti tertulis yang dimaksud dalam Pasal 24 Ayat 1 adalah:
k. Petuk pajak bumi / Landrente, girik, pipil, kikitir dan verponding Indonesia, sebelum
berlakunya PP 10 / 1961 ( ket: seharusnya sebelum berlakunya UUPA, karena sejak
berlakunya UUPA tidak dipungut lagi pajak hasil bumi)

FAKTA HUKUM III
(Pembelian Kedua)

Seusainya pemulihan kedaulatan Republik Indonesia akhir tahun 1948, munculah keinginan untuk menghilangkan nuansa kolonial dalam berbagai bidang, tanpa kecuali di bidang pertanahan, salah satunya adalah Hak Eigendom yang luasnya lebih dari 10 Ha(kelompok tanah partikelir), untuk dibeli lagi oleh Negara sesuai dengan anggaran yang tersedia, namun banyak menghadapi pertentangan dari pemilik tanah partikelir dalam soal harga yang ditetapkan Pemerintah karena dirasakan belum sesuai dengan jumlah pengorbanan yang telah dikeluarkan saat pembelian era Pemerintahan Hindia Belanda, betapapun demikian banyak yang merespon ketentuan tersebut karena dirasa sudah cukup mewadahi.. Agar kebijakan tersebut mendapat pijakan hukum yang kuatdisertai perlunya penekanan kepada pemilik tanah partikelir, perlu didukung dengan Peraturan yang lebih mengikat, maka lahirlahUndang Undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Partikelir (tanah Eigendom yang luasnya lebih dari 10 bau), dalam Pasal 8 Ayat 1 disebutkan:
Kepada pemilik tanah partikelir yang dimaksudkan dalam Pasal 3diberikan ganti kerugian yang dapat berupa:
a. Sejumlah uang, berdasarkan perhitungan harga hasil kotor setahun, rata - rata selama
lima tahun terkhir sebelum 1942, dikurangi 40 % sebagai biaya usaha, kemudian
dikalikan angka 8,5

Perhitungan ganti rugi tersebut akan lebih mudah dipahami tentang besarnya nilai imbalan per hektar sawah, bila mengambil patokan kondisi sekarang ini yaitu:

Harga gabah Rp 3.000 (Nilai terendah/kg), panen 1 hektar 4.000 kg (rata rata), dalam setahun panen 2 kali, maka menghasilkan angka sbb:
3.000 X 4.000 X 2 X 60 % (100 % - 40 %) X 8,5 = Rp 122.400.000 / Ha.

H. Zainal Asikin selaku Ahli Waris Harta Peningggalan Njimas Entjeh, sesungguhnya begitu antusias untuk mendapatkan ganti rugi / imbalan sesuai dengan perhitungan tersebut, hal ini dirasakan sangat wajar mengingat kondisi saat itu nilai yang diberikan oleh Negara memang sudah cukup layak, oleh karena itu upayapun dilakukan dengan mengurus kepada Instansi terkait dengan membawa segala berkas Bukti Kepemilikan yang ada. Namun ternyata (mendapat jawaban) kondisi keuangan Negara sama sekali tidak memungkinkan merealisasikan harapan tersebut.

Gambaran yang lebih faktual dapat diutarakan sbb, bahwa sejak awal tahun 1949 sampai dengan akhir 1956, dalam situasi Sumber Pendapatan Negara yang terbatas, Pemerintah telah melakukan pembelian tanah partikelir tidak kurang dari 11.759 Ha.Apabila menggunakan patokan hasil kalkulasi diatas dapat diperoleh angka: (Cttn: patokan harga sebelum berlakunya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1958 sedikit dibawahnya).
-6-
Rp 122.400.000 X 11.759 = Rp 143.930.160.000.000,-
(hampir 144 trilyun rupiah).
Atau sedikit diatas ratio 12 % dari jumlah RAPBN tahun 2008-2009 dan akan menjadi tandas lagi bila diperbandingkan dengan upaya Pemerintah sekarang dalam pemberian penanganan ganti rugi kepada korban bencana lumpur Lapindo-Sidoarjo yang hanya dibawah 0.1 % saja dari ratio tersebut, faktanya : begitu berlarut larut bahkan sangat ‘kedodoran’ dalam alokasi Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara, walaupun Sumber Pembiayaan sudah didukung Bantuan Luar Negeri.
Dengan alasan tersebut kiranya dapat diestimasikan, sejauh mana kemampuan
Keuangan Negara dalam memenuhi ketentuan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1958, dimana Pemerintah hendak membeli tanah partikelir seluas 28.923 Ha (di Jawa) dan
2.500 Ha (di Sulawesi) dalam waktu lima tahun, akankan mampu dicapai target tersebut ?
Secara matematis atau logika / otak sehat, dapat dijawab dengan mudah :
M u s t a h i l
Dan itulah realitanya.

Sejarahpun mencatat belum setahun Peraturan tersebut berjalan (akhir 1958), populeritas Ir. Soekarno berada pada posisi anti klimaks, karena anjloknya kewibawaan Pemerintah oleh krisis keuangan yang sangat parah (‘agregat’ kelesuan ekonomi memang sangat terasa dipertengahan tahun), akibat konsentrasi keuangan untuk pembelian tanah partikelir sejak tahun 1949, ceritanya akan menjadi lain apabila Pemerintahan Ir. Soekarno memanfaatkan dana tersebut untuk Pembangunan Ekonomi terutama dalam meningkatkan sarana produksi Pertanian dan Menumbuh Kembangkan Dunia Usaha melalui alokasi kredit usaha kecil hingga besar, sebagaimana yang dilakukan Regiem Soeharto. Bahkan kami mencernai adanya korelasi linier (membuat bom waktu) yang dapat terbaca dari bunyi Pasal 8 Ayat 3 : Pembayaran ganti kerugian tersebut pada Ayat 1 sub a Pasal ini dapat dilakukan secara berangsur,paling lama lima tahun dan dalam hal ini kepada pemilik diberikan bunga menurut Undang Undang.

Terhitung persis 5 tahun sejak lahirnya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1958, yaitu tepat pada tahun 1963 situasi ekonomi ‘rontok’, nilai rupiah terhempas pada posisi terparah, devaluasi dilakukan berulangkali tanpa dapat menyelamatkan nilai rupiah, inflasi melambung secara ‘fantastis’ menembus level 670, kebijakan fiskal yang exploitatif tanpa menuai hasil apapun, kecuali semakin terpuruknya rupiah, alhasil Nama besar Soekarno seakan ‘terkubur’ bersamaan runtuhnya perekonomian Nasional.

Ketidak berdayaan Keuangan Negara dalam memenuhi target Undang Undang Nomor 1 Tahun 1958, menjadi alasan pragmatis (solusi) Pemerintah untuk membuka kesempatan kepada pemilik tanah partikelir supaya memberikan kompensasi kepada Negaraberupa Kikitir Padjeg Boemi (Jakarta, Jawa Barat) Petuk / PetokPethok Padjeg Boemi (Jawa Tengah, Jawa Timur) dan Grant(Sumatera, Sulawesi) sebagai syarat utama untuk tetap disyahkan Haknya atas Aset tanah yang dimilikinya. Inilah latar belakang (fakta hukum) tentang penerbitan Kikitir / Petok Padjeg Boemi dan Grantterhadap Aset tanah yang lebih dari 10 bau ( tanah partikelir ).
Pertanyaan yang perlu di ketengahkan disini, namun akan kami jawab kemudian, adalah:

“ Relevankah alasan hukumnya, apabila tanah partikelir yang telah dibayar
(sebagai pembelian) dalam bentuk kompensasi (konversi) kepada Negara oleh pemiliknya,
masih di ‘klaim’ sebagai Tanah Negara ?
Marilah kita urai dari fakta hukum tersebut diatas, agar penyelenggara Negara / siapapun yang berasumsi demikian, jangan sampai dianugrahi oleh anak cucu kita dengan menyematkan
Bintang (Maha Karya): ‘P e n g e c u t t e r h a d a p B a n g s a n y a s e n d i r i
(dan akan dicatat dalam Buku Sejarah Nasional Indonesia)
Dengan kondisi, sikap / kemauan Pemerintah saat itu H. Zainal Asikinmengubur segala keinginan untuk memperoleh ganti rugi / imbalandari Negara yang cukup besar (dari hasil penjualan tanahnya ),bahkan sebaliknya harus berusaha dalam mendapatkan danayang
-7-
dibutuhkan guna membayar kompensasi kepada Negara ( Pembelian kedua ), atas segala upaya keras yang dilakukan dari berbagai sumber (pinjaman), akhirnya terhimpun dalam jumlah cukup guna membayar Kikitir / Petok Padjeg Boemi dan Grantterhadap semua Aset yang dimiliki, pada tahun 1958 dan 1959, tepatsesuai kesepakatan dengan Pemerintah (seluruh bukti masih tersimpan dengan baik). Atas dasar pembayaran tersebut maka sejak saat itu juga dinyatakan syah sebagai Hak Milik Adat yang selanjutnya menjadi inspirator / pijakan pembuatan Hukum Tanah Nasional (HTN) di Indonesia.

Kikitir / Petok Padjeg Boemi dan Grant adalah alat bukti kepemilikan (Hak Adat),
yang memenuhi semua standar persyaratan untuk ditingkatkan menjadi
Sertifikat Hak Milik (SHM)
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961maupun penggantinya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 24 Ayat 1
(yang isinya sebagaimana diterangkan diatas / Fakta Hukum II)

PENGESAHAN HAK MILIK
(Ketentuan U U P A)

Diiringi situasi krisis ekonomi yang semakin mengerucut, upaya Pemerintah dalam melakukan Reformasi Peraturan Perundangan yang berpijak dengan aspek pertanahan murni keindonesiaan setelah diawali Pemberlakuan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1958, mengalami proses yang cukup alot di Parlemen (DPR Gotong Royong), tidak lain adanya silang pendapat demikian ‘deras’ atas materi bersifat rujukan dari khasanah Ketentuan lama (KUUHPdt) dengan kerangka acuan yang bersumbu pada Hukum Adat.
Topik sentral dalam mengangkat keberadaan Hukum adat inilah yang kemudian menjadi ‘jiwa dan Roh’ kesepahaman pembuatan Peraturan yang baru. Akhirnya pada tanggal 24 September 1960disyahkanlah Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau lebih dikenal dengan Undang Undang Pokok Pertanahan ( U U P A ), yang merupakan produk Peraturan Pertanahan yang monumenal dan menjadi ‘kiblat’ semua Peraturan Agraria di Indonesia hingga saat ini.

Materi yang begitu elementer terhadap Hak Kepemilikan kami adalah yang terdapat pada Ketentuan Ketentuan Konversi U U P A Ayat 1:
Hak Eigendom atas tanah yang ada mulai berlakunya Undang Undang ini
sejak saat tersebut menjadi Hak Milik.

Sehingga melalui U U P A ini Bukti Kepemilikan Njimas Entjeh telah menjadi 3 (tiga) pilar/ lapis sekaligus, yakni : Eigendom(Pembelian Pertama), Verponding Indonesia dan Bukti Kompensasi kepada Negara (konversi)berupa Kikitir / Petok Padjeg Boemi dan Grant Sultan
(Pembelian Kedua) yang masing masing dapat dijadikan dasar pembuatan
Sertifikat Hak Milik S H M ).

Keberadaan U U P A sebagai Peraturan Pertanahan memiliki dimensitransendental terhadap seluruh aspek Pertanahan Indonesia sehingga pada usianya yang hampir setengah abad tetap relevansebagai pijakan hukum, walaupun terdapat nuansa untuk dilakukanreformasi, namun tidak akan merubah sendi pokoknya yang memangterdapat kelekatan terhadap Kultur Asli Ke’sejarah’an Indonesia.Adapun keinginan untuk mengganti / me’reduksi’ Peraturan tersebut, sifatnya sekedar melengkapi dari Ketentuan yang dapat menjawab perkembangan zaman. Artinya ‘kesahihan’ Hak Kepemilikan kami akan tetap mencengkeram terhadap Ketentuan Perundangan Indonesia hingga akhir zaman nanti (dengan catatan tidak hadir lagi ‘hegemony’ asing / Kolonial di Bumi Persada Indonesia).
Selain itu Reformasi terhadap U U P A menurut hemat kami adalah sebagai upaya lebih menjernihkan segala permasalahan yang berkembang belakangan ini, yang diakibatkan adanya begitu banyaknya Peraturan Pertanahan yang tidak seluruhnya ber’senergi’ bahkan adanya tumpang tindih nilai yang dibawa (terkesan adanya warna kepentingan untuk kelompok tertentu yang dekat dengan penguasa pada zamannya red) sehingga menimbulkanproduk kebijakan yang ‘rancu’.
-8-
Sementara itu Perlakuan Hak Milik atas tanah yang ‘berafiliasi’(‘integralistik’) langsung dengan pemegang Haknya sebagai ‘unifikasi’ yang tidak terpisahkan atas sifatnya sebagai Hak individu, pada materi U U P A Pasal 20 mendapat tempat yang demikian terhormat yakni adanya Ketentuan bahwa Hak Milik dinyatakan berkekuatan ‘turun temurun’ sebagai pembeda dengan hak lainnya (HPL, HGU,HGB dll), demikian halnya dengan unsur dapat ‘diwariskan’ adalah kesatuan atas jiwa kemanusiaan yang bersifat berketurunan.
Disinilah terdapat ‘entitas’ sekaligus hubungan kesenyawaandemikian mendalam sebagai pernyataan bahwa Hak Milik berkedudukan terkuat dan terpadu yang dapat dipunyai orang atas tanah. Dengan coraknya ini Hak Milik mendapat perlindungan hukum sangat kuat dalam U U P A.

Pedoman yang ikut memperkuat hak kepemilikan kamipun mendapat penegasan pada Pasal 24 Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur
dengan Peraturan Perundangan.

Ketentuan ini selaras dengan besarnya pengorbanan dalam memperoleh status Hak Milik atas tanah, disamping itu adanya peletakan dasar sebagai hubungan hukum konkrit yang melekat terhadap sifat ‘Hak’ itu sendiri dan ‘Milik’ dengan unsur ‘terkuat’ nya. Alhasil Hak Milik perseorangan yang telah dinyatakan ‘syah’ sesuai bunyi Undang Undang: ‘Penggunaan oleh bukan pemiliknya ‘dibatasi’ dan ‘diatur’ dengan Peraturan. Oleh karena itu siapapun yang hendakmemanfaatkanmenguasai ataupun menerbitkan hak lain diatas tanah milik adalah perbuatan melawan hukum, apabila tidak seijin pemiliknya.

Sisi inilah yang seharusnya digaris bawahi dalam merunut (mengupas tuntas) timbulnya sengketa tanah yang bersifat ‘kasuistik’ saat ini, sebagai akibat ‘pendangkalan’ tersistematis terhadap materi Perundang Undangan demi mewujudkan lahirnya produk kebijakanatas dasar
materi’ (fulus / suap / uang) agar supremasi hukum di Indonesia tidak sekedar ‘retorika’ politik Penguasa, sebagai bentuk mengelabuhi rakyat yang haknya telah ‘diambil alih
(bahasa diperhalusnya: Dijarah)

KASUS HUKUM
(Perampasan Hak Milik)

Tahun 1966 merupakan kejatuhan Ir. Soekarno dalam seluruh tampuk Pemerintahan yang ditandai ‘morat maritnya’ Perekonomian Nasional, namun telah mewarisi produk Peraturan Pertanahan yang sangat ‘prestisius’ berupa U U P A dan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1958 betapapun tidak dapat dilaksanakan sepenuhnyaakibat situasi moneter yang amat sulit dalam mencapainya. Dalam pada itu Pergantian Kepemimpinan Nasional juga ditandai babakan baru berkenaan dengan perilaku birokrasi dari strata terbawah hingga tertinggi yang sepenuhnya dikendalikan oleh koloni baru bernama ‘uang’. Inilah tonggak sejarah diawalinya carut marut di dunia pertanahan Indonesia yang ‘krusial’ dan menerobos hinggakekelaman dimensi kemanusiaan.

Berhembusnya Kasus Pertanahan diilhami oleh birokrasi yang diisi pejabat militer dan pola militerisme yang berkonotasi otoriter, sehingga melahirkan produk kebijakan yang tidak mengakar kepada aspek keadilan masyarakat bahkan sebaliknya hak hak rakyatlah terangkat untuk dijadikan objek ‘bisnis’ yang menggiurkan untuk ditawarkan kaum ‘berkantong tebal’ (pengusaha) atau hubungan kerabat dan keluarga penguasa.
Lahirnya Hak lain diatas tanah Hak Milik (sertifikat ganda) menjadi fenomena pada masa Pemerintahan Regiem Soeharto, tanpa kecuali terhadap Aset tanah milik Njimas Entjeh, dengan melalui perjuangan yang luar biasa dalam memperoleh Hak Kepemilikan sebagaimana yang telah diterangkan diatas, dimentahkan oleh konspirasi jahat(sindikat) oknum pejabat dengan ‘mafia tanah’ untuk mempermainkan / mengaduk aduk Undang Undang.

Munculah Hak lain mulai dari Girik, Hak Pakai Lahan, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan bahkan Hak Milik yang terbit diatas Aset tanah Milik kami, ironisnya sebagian besar dinyatakan sebagai Milik Negara , sebagian lainnya adanya realita penggarap yang telah
-9-
dipercayai memanfaatkan tanah sebagai lahan pertanian untuk kesejahteraan keluarganya (sebagai motif sosial dari kami),melihat peluang pada sistem birokrasi yang mudah diterobos atas dasar ‘fulus’, hal ini berimbas pada ‘matinya’ hati nurani dalam produk kebijakan yang mengebiri Hak Kepemilikan Kami yang telahdinyatakan ‘sahih’ menurut Undang Undang / fakta hukum danfakta sejarah. Pada era tersebut upaya kami dalam mempertahankan Haknya telah diperjuangkan semaksimal mungkin sesuai koridor hukum yang berlaku, demikian halnya korban korban lainnya, akan tetapi senantiasa berhadapan dengan kekuatan oknum pejabat yang menggunakan ‘gaya kemiliteran’nya demi meredam usaha kerasdalam pengembalian hak kami, bahkan intimidasipun menjadi hal yang ‘kerap’ kami alami.

Inilah tragedi kemanusiaan yang siapapun tidak ingin mengimpikannya apalagi mengalaminya namun realita ini menerpa kami dan serentetan korban pada warga negara
yang jumlahnya beribu-ribu lainnya

Kepemimpinan Soekarno telah meninggalkan warisan Undang Undang Pertanahan
begitu berharga bagi Bangsa dan Negara Indonesia,
sementara Pemerintahan Soeharto yang hengkang oleh rakyatnya sendiri
mewarisi produk kebijakan yang ‘mengharu biru’kan bumi hukum pertanahan
dan meninggalkan beribu ribu kasus tanah bagi Bangsanya,
lantas warisan apa yang kiranya akan diberikan oleh
Pemerintahan sekarang untuk Bangsa yang menanti keadilan ini ?
(Marilah kita ikut mengingatkannya sebagai Rakyat yang telah memilihnya)

Sebelum mengangkat kasus pertanahan tersebut untuk membahas pemecahan hukum, akan lebih baik kami mengutarakan terlebih dahulu Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2006, tentang “Sebelas Agenda Kegiatan” :
Point 1. Membangun kepercayaan masyarakat pada B P N
Point 3. Memastikan Penguatan hak hak rakyat atas tanah
Point 5. Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa dan konflik pertanahan di seluruh Indonesiasecara sistematis
Point 9. Melaksanakan secara konsisten semua Peraturan Perundang Undangan Pertanahan yang telah ditetapkan.

Demikian ‘indah’ bunyi Ketentuan yang dibuat oleh pemegang otoritas pertanahan Indonesia, namun apakah pelaksanaannyaseindah isi materi ‘maklumat’ tersebut?
Sudah 2 (dua) tahun di’canangkan’ Peraturan ini, akan tetapi secara ‘kasat mata’ baru sebatas ‘pernyataan’, jauh dari harapan kita semua.
Sesuai hukum tata negara dinyatakan bahwa segala produk kebijakan Pemerintah bersifat kemanusian menjadi tanggung jawab moral Pemerintahan sesudahnya, sehingga dalam menangani kasus pertanahan menjadi keharusan mendudukan persoalan sesuai norma hukum yang melekat kepada pemilik awal sesuai kadarprikemanusiaan dan prikeadilan.

Dalam keterkaitannya terhadap membangun kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah yang terpenting adalah mewujudkan‘Clean Goverment’, dengan membentuk ‘kemauan politik’ yang kuatsekuat tekad pendiri Bangsa ini dalam melawan kolonialisme. Inilah yang semestinya dikedepankan Pemerintah sekarang, karena ‘tersingkirnya Soeharto’ harus diikuti dengan menyingkirkan ‘budaya korupsi’ yang begitu lekat pada pola Pemerintahannya, itulah tuntutan rakyat. Masih segar diingatan kita tentang predikat sebagai Negara dalam kelompok nomor ‘wahid’ter’korup’ di dunia, suatu gelar yang sangat ‘memalukan’sebagai wujud melawan arus dan melukai hati pendiri bangsa. Pertanyaannya adalah : “Akankah kita mentorerir atau mendiamkan kenyataan sebagai Negara dengan Pemerintahan ter’korup’ sedunia ini ?

PEMECAHAN KASUS HUKUM
(Berdasarkan Hukum Tanah Nasional)

Berangkat dari timbulnya kasus pertanahan yang lahir diluar prosedur hukum yang berlaku sebagaimana dijelaskan diatas, maka perlu kita kupas melalui kaidah Hukum Tanah Nasional
-10-
yang memiliki asas demikian tegas dalam menentukan kepada siapapun termasuk PenguasaPemerintah apabila memerlukan tanah untuk kepentingan individu perusahaan swastaataupun kepentingan umum / Negara harus berpijak pada:

A. Penguasaan dan Penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun harus dilandasi hak atas tanah yang disediakan oleh Hukum Tanah Nasional
B. Penguasaan dan Penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya(ilegaltidak dibenarkan, bahkan diancam dengan sanksi pidana (Undang Undang No 51 Prp 1960)
C. Penguasaan dan Penggunaan tanah berlandaskan hak yang disediakan oleh Hukum Tanah Nasional, dilindungi hukum terhadap gangguan dari Pihak manapun baik oleh sesama anggota masyarakat maupun oleh Pemerintah sekalipun.
D. Dalam keadaan biasadiperlukan oleh siapapun dan untuk keperluan apapun termasuk kepentingan umum, perolehan tanah yang sudah di’hak’i seseorang, harus melaluimusyawarah untuk mencapai mufakat, baik mengenaipenyerahan tanahnya kepada pihak yang memerlukan, maupun mengenai ‘imbalannya’ yang merupakan hak daripemegang hak atas tanah ybs. untuk menerimanya.
E. Dalam keadaan biasa, untuk memperoleh tanah yang diperlukantidak dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk apapun danoleh siapapun kepada pemegang haknya untuk menyerahkan tanah kepunyaannya dan/atau menerima imbalan yang tidak disetujuinya, karena pemegang hak bagaimanapun berhakuntuk menolaknya.
F. Dalam keadaan yang memaksa, yaitu jika bidang tanah yang bersangkutan diperlukan untuk kepentingan umum dan tidak mungkin digunakan bidang tanah yang lain, sedang muyawarah tidak berhasil mencapai kesepakatan, dapat dilakukan pengambilan bidang tanah yang bersangkutan, secara paksa(sesuai Undang Undang No. 20 tahun 1961 TentangPencabutan Hak atas tanah dan Benda Benda lain yang ada diatasnya)
G. Dalam perolehan atau pengambilan tanah, baik atas dasarkesepakatan bersama maupun melalui pencabutan hak, pemegang hak ybs. berhak atas imbalan, bukan hanya meliputitanah-bangunan dan tanaman milik pemegang hak atas tanahnya. Melainkan juga kerugian yang dideritanyasebagai akibat penyerahan bidang tanahnya ybs.
H. Betapapun untuk kepentingan umum, pihak yang mempunyai tanah tidak dapat menolak pengambilannya, karena dalam hidup bermasyarakat kepentingan umum harus didahulukan, namun mengenai bentuk dan jumlah imbalan yang ditetapkan oleh Pemerintah, pemilik hak masih diberi kesempatan untukmengajukan banding ke Pengadilan Tinggi yang keputusannya mengikat semua pihak ybs.
I. Bentuk dan jumlah imbalan jika tanahnya diperlukan untuk kepentingan umum dan melalui pencabutan hak haruslah sedemikian rupa, hingga bekas pemegang hak tidak mengalamikemunduran, baik dalam bidang sosial maupun ekonominya.

Berdasarkan ketentuan Hukum Tanah Nasional tersebut, dalammengurai kasus tanah yang terjadi dalam wilayah Hukum Indonesia sesungguhnya tidaklah terlalu sulit (tergantung bagaimanakesucian hati kita dalam menyelesaikan kasus), mengingat Bukti Hukum yang telah mengikat terhadap Pemilik awal / aslinya itulah yang ‘harus’ menjadi dasar / acuan untuk dibela dan dimenangkandalam menyelesaikan masalah yang ada, sesuai ‘hakekat kebenaran hukum’ yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapapuntermasuk Penguasa / Pemerintah atas dasar apapun. Mengingat dalam proses pengalihan hak, pemegang hak (kami) belum pernah mendapatkan imbalan dalam bentuk apapun. Bahkan lebih dari itu, sesuai Peraturan Hukum yang berlaku: menggunakan dan menguasai tanah bukan miliknya adalah bentuk pelanggaran pidana, hal inipunmengikat kepada oknum pejabat yang terlibat karenamenerbitkan hak baru diatas tanah milik orang lain yang telah dinyatakan syah secara hukum.

Demikian halnya dengan fenomena munculnya hak lain diatas Aset tanah milik Njimas Entjeh yang terbit tanpa menyertakan posisi kami sebagai pemilik ‘syah’nya. Segaris dengan ketentuan Hukum Tanah Nasional, kami hendak melakukan upaya hukum semestinya sesuai Undang Undang yang berlaku, agar Hak yang telah diperjuangkan oleh Njimas Entjeh (dan keturunannya termasuk M. Fatkhi Esmarsebagai Ahli Waris terakhirnyasesuai Ketetapan Pengadilan)dapat dikembalikan sepenuhnya kepada kami. Untuk keperluan itudibentuklah Njimas Entjeh Foundation yang merupakan Wadahdalam memperjuangkan semua Hak yang kini ‘dijarah’ pihak lain, tanpa mengindahkan aturan normatif dan ketentuan hukum Indonesia.
-11-
Berangkat dari fakta hukumpengesahan hak milikkasus hukum dan Ketentuan Undang Undang,
maka dapat kita tarik benang merahnya secara tegas dan tandas, sbb:

Munculnya kerancuan hak kepemilikan yang terjadi sekarang ini, dari Hak Milik Njimas Entjeh atas Aset Tanah yang telah dinyatakan syahsecara hukum
(Ketentuan Ketentuan Konversi UUPA Ayat 1, Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 dan Penggantinya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997)
sepenuhnya berasal dari kesalahan tafsir / salah kaprah yang disengaja atau tidak
oleh oknum pejabat saat itu terhadap kandungan materi hukum
sebagai upaya dalam mempersempit dari maksud besar dibuatnya Undang Undang
(UU No. 1 Tahun 1958)
perbuatan ini dilakukan untuk memperoleh keuntungan pribadi oknum pelaku yang berkonotasi ‘suap’ dari pihak lain yang memungkinkan ‘praktek memanipulasi’
Undang Undang demi melahirkan hak lain dan menghilangkan hak milik orang lain
Njimas Entjeh )
(Pelanggaran KUUHP)
adanya usaha memperlakukan hak milik warga masyarakat menjadi
Tanah Negara adalah berlawanan dengan
fakta hukum dan fakta sejarah,
mengingat :
1. Struk bukti pembayaran padjeg boemi sebelum berlakunya U U P A
(Verponding Indonesia),
2. Hak Eigendom milik WNI pribumi yang telah di’konversi’ dalam bentuk Kikitir/Petok padjeg boemi dan Grant Sultan
(sebagai kompensasi / pembelian kepada Negara)
adalah alat bukti konversi yang ‘syah’ sebagai
Hak Milik Adat
yang semuanya memenuhi segala persyaratan untuk penerbitan
Sertifikat Hak Milik
(Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 dan penggantinya
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997)
Dengan berpijak pada ke’sahih’an bukti kepemilikan dimaksud, dan atas dasar kekuatan hukum yang melekat terhadap pemiliknya,
(Ketentuan Ketentuan Konversi UUPA Ayat 1, UUPA Pasal 20 dan 24)
selanjutnya muncul hak-hak lain dengan tanpa melalui
mekanisme prosedur hukum semestinya,
dalam bentuk pemberian ganti untung / imbalan kepada pemilik ‘syah’nya
maka hak yang timbul kemudian adalah ‘c a c a t h u k u m’ ( i l e g a l )
(Hukum Tanah Nasional)
maka h a r u s b a t a l d e m i h u k u m.
Hal ini sebagai konsekuensi logis atas segala pelanggaran Peraturan yang berlaku sekaligus bentuk perlindungan hukum terhadap hak kepemilikan
yang merupakan Hak Azasi manusia
(Amandemen UUD 1945 Pasal 28 H Ayat 4)
dimana hak pribadi dan hak Milik tidak dapat diganggu gugat
oleh siapapun secara sewenang wenang
(Undang Undang No 39 Tahun 1999)
Berdasarkan hukum positif yang kita anut,
barang siapa yang bersalah harus dihukum
sesuai dengan Ketentuan Undang Undang
(Undang Undang No 51 Prp Tahun 1960 dan KUUHP)
karena akibat kesalahannya, Pihak lain (Njimas Entjeh) dirugikan.
Dan atas nama hukum yang berkeadilan,
Aset Tanah harus dikembalikan
kepada pemilik aslinya
(Njimas Entjeh)
Ketentuan ini bersifat mengikat semua pihak
-12-
Demi mewujudkan ‘supremasi hukum’ di Indonesia maka kepada Pemerintah Republik Indonesia dan semua komunitas pertanahan ‘harus’ taat asas dan taat terhadap segala ketentuan hukum yang berlaku, dan oleh karena itu semua pihak ‘wajib’ menghormati hak milik yang telah melekat kepada pemilik awal / aslinya. Dengan dasar adanya kerancuan hak yang timbul kemudian sifatnya ‘ilegal’ atau ‘haram, sebagai umat beragama mengetahui, bentuk larangan yang sifatnya ‘haram adalah sinonim dengan ‘dosa’ dan bagi siapapun yang melakukan perbuatan ‘dosa’ harus ‘dihukum sesuai kadar kesalahannya.
Kembali ke nilai ‘sosial’ yang merupakan warisan luhur dari Njimas Entjeh, kamipun berlapang dada dalam mensikapi realitas permasalahan yang timbul akibat ‘kebejadan’ moral oknum dimaksud, sebagai bentuk kekilafan manusia yang tidak luput dari perbuatan ‘dosa’, betapapun hukum harus tetap ditegakan, kami sebagai umat Allah yang menjunjung tinggi nilai nilai ajaran Agama, bersama ini bersedia untuk membuat Akta Perdamaian yangsaling menguntungkan kepada Pihak yang saat ini menguasai Aset tanah milik kami baik secara fisik maupun atas dasar hak ‘ilegal’ yang dimilikinya. Agar adanya kepastian hukum dan kemurnian ‘status’ hukum atas Aset dimaksud.

Dengan diringi Lagu Kebangsaan Maju Tak Gentar:
Maju Tak Gentar, Membela yang Benar
Maju Tak Gentar, Hak Kita tak Diserang
Maju Serentak, Mengusir Penyerang
Maju Serentak, Tentu Kita Menang
Sebagai spirit dalam kebersatuan kita melakukan Aksi Moral Kebangsaan
untuk terus maju tanpa mengenal menyerah membela yang benar
Dengan menyebut Asma Allah sebagai Lambang Kebenaran
dan ucapan
Bismillah irohman nirrohim
Marilah kita benahi segala ‘kebobrokan mental’ bangsa yang teramat parah ini
Demi Indonesiaku
Indonesia yang tahu jati dirinya, Indonesia yang bermartabat dan berkeadilan sosial
Kami mengajak semua pihak
untuk meluruskan tugas sejarah yang terputus dari ‘roh kemanusiaan’
semua harus kita perjuangkan dan wujudkan
Demi Anak Cucu Kita, dan
Kemenangan Indonesiaku.

Demikian Dasar Hukum Kepemilikan Njimas Entjeh Siti Aminah(Osah) disusun sebagai usaha dalam memperbaiki ‘kharakter bangsa’ Indonesia, sekaligus bentuk ‘ajakan’ semua pihak yang berkepentingan terhadap masalah pertanahan, agar melakukan ‘aksi moral kebangsaan’ dalam menyelesaikan persoalan bangsa yang jauh dari prikemanusiaan dan prikeadilan.
Terima kasih

Jakarta, 10 Oktober 2008
Hormat kami,
Njimas entjeh Foundation


Drs. Pungkas Indio Akt. SH
Legal Officer

Tembusan, Kepada Yth:
1. Ketua Dewan Penasehat dan Pembina Njimas Entjeh Foundation
2. Ketua Umum Njimas Entjeh Foundation

3. Arsip

9 komentar:

Anwar M mengatakan...

Poin yg penting dari sisi sejarah
1.Istri orang belanda

apakah pantas dokumen tersebut dikatakan sebagai sah??, memang sah untuk waktu tertentu

tapi kita lihat lagi dari sisi sejarah, Nyi entjeh menikah dengan orang belanda, yang berarti mendapatkan tanah-tanah tersebut dari Indonesia,lalu datanglah jepang, dari masa jepang saja sudah tidak berlaku....

lalu kita merdeka di tahun 45, apakah indonesia mau mengakui surat-surat jepang??, Tidak. Apalagi surat-surat, sertifikat belanda
mereka semua penjajah, disaat kita merdeka Indonesia SUDAH MILIK RAKYAT INDONESIA bukan JENDRAL YG PERNAH MENJAJAG , secara logika pun tak mungkin surat2 mereka berlaku
Apakah pantas surat2 tersebut berlaku?
Surat2 entjeh pasti berlaku dengan syarat
1. Indonesia menjadi negara bagian dari belanda sebelum jepang datang
2. Indonesia tidak pernah dijajah jepang

dari logika sejarah pun kita bisa tau jawabannya
memang surat tersebut SAH.... TAPI
Apakah surat-surat tersebut masih berlaku??

Unknown mengatakan...

tanah2 ITU MILIK KERAJAAN YANG SAH

Unknown mengatakan...

kembali ke sejarah, aset2 kasultanan di nusantara makanya ada surat eigendom dan verbonding sebelum republik indonesia ada(merdeka)

Unknown mengatakan...

surat2 eigendom dan verbonding ada sebelum indonesia merdeka dan saat itu menjadi tanah kerajaan2 di nusantara.

Unknown mengatakan...

dari kerajaan turun kepada ahli waris kerajaan dan kawula kerajaan, jadi indonesia tidak memiliki tanah yang memiliki adalah dinasti kerajaan, kerajaan2 di nusantara ada lebih dulu, siapa yang berjuang bukan indonesia tapi rakyat kerajaan2 di nusantara.

Unknown mengatakan...

setelah indonesia lahir/ada tgl 17 agustus 1945, surat2 hak milik kerajaan sudah ada dan dibuat, kapan kerajaan2 di indonesia dijajah belom pernah ada yg dijajah, ingatlah perjuangan para pahlawan

Unknown mengatakan...

akal bulus politiknegara2 barat untuk menguasai aset kerajaan di nusantara sampai sekarang masih dilakukan, tapi oleh bung karno sudah diselamatkan aset2 kerajaan2 di nusantara pada saat itu atas nama kerajaan2 nusantara sebagai presiden RI.

Unknown mengatakan...

politik siapa untuk menghabiskan sisitem kerajaan atau kasultanan di nusantara, akal licik USA dan sekutunya, aset nusantara di luar negeri adanya tulisan belaka, aset asli sudah di negri bangsa indonesia / nusantara / atralntic / mataram(kerajaan yang masih ada di nusantara)

Unknown mengatakan...

tunggulah MATARAM (NUSANTARA) yang akan membawa nusantara mercusuar dunia, sekarang sudah lahir "MATARAM BINANGUN" ASET2 nusantara sudah disimpan dibawa untuk menuju nusantara(JOGLOSEMAR)

Posting Komentar