Abad Akhir Ramalan
Jayabaya (2001-2100): Munculnya Satriya Piningit yang akan menciptakan Zaman
Aman, Makmur, Adil dan Sejahtera di Indonesia
Prabu
Jayabaya adalah Raja
Kerajaan Kediri yang terkenal sakti dan berilmu tinggi, konon beliau
adalah titisan Betara Wishnu, sang Pencipta Kesejahteraan di Dunia,
yang akan menitis selama tiga kali. Beliau memerintah Kerajaan Kediri pada
sekitar tahun 400-an Masehi. Beliau mampu meramalkan berbagai kejadian yang
akan datang yang ditulis oleh beliau dalam bentuk tembang-tembang Jawa yang
terdiri atas 21 pupuh berirama Asmaradana, 29 pupuh berirama Sinom, dan
8 pupuh berirama Dhandanggulo. Kitab ini dikenal dengan nama
Kitab Musarar.
Ramalan Jayabaya
dibagi dalam 3 zaman yang masing-masing berlangsung
selama 700 tahun, yaitu Zaman Permulaan (Kali-swara), Zaman
Pertengahan (Kali-yoga) dan Zaman Akhir (Kali-sangara).
Yang menarik dari
ramalan Jayabaya adalah ramalan Zaman Akhir (Kali-sangara) dari tahun
Masehi 1401 sampai dengan tahun 2100, karena kita dapat membuktikannya
dengan catatan sejarah Indonesia /Jawa dalam periode tersebut.
Ramalan Jayabaya
dalam periode Akhir tersebut cukup akurat dalam meramalkan bangkit dan
runtuhnya kerajaan-kerajaan Jawa (Indonesia), naik-turunnya para Raja-raja dan
Ratu-ratunya atau Pemimpinnya, yang terbagi dalam tiap seratus tahun
sejarah, yaitu Kala-jangga (1401-1500 Masehi), Kala-sakti
(1501-1600 M), Kala-jaya (1601-1700 M), Kala-bendu (1701-1800 M), Kala-suba
(1801-1900 M), Kala-sumbaga (1901-2000), dan Kala-surasa (2001-2100 M).
Munculnya Presiden
Sukarno sebagai Pemimpin Indonesia, Pendiri Republik Indonesia dalam
periode Kala-sumbaga (1901-2000) diramalkan secara cukup akurat. Beliau
digambarkan sebagai seorang Raja yang memakai kopiah warna hitam (kethu
bengi), sudah tidak memiliki ayah (yatim) dan bergelar serba mulia (Pemimpin
Besar Revolusi). Sang Raja kebal terhadap berbagai senjata (selalu lolos dari
percobaan pembunuhan), namun memiliki kelemahan mudah dirayu wanita cantik, dan
tidak berdaya terhadap anak-anak kecil yang mengelilingi rumah beliau
(mundurnya beliau karena demo para pelajar dan mahasiswa). Sang Raja sering
mengumpat orang asing sebagai lambang bahwa beliau sangat anti Imperialisme.
Dalam tembang Jawa berbunyi: “Ratu digdaya ora tedhas tapak paluning pandhe sisaning
gurinda, nanging apese mungsuh setan thuyul ambergandhus, bocah cilik-cilik
pating pendhelik ngrubungi omah surak-surak kaya nggugah pitik ratu atine cilik
angundamana bala seberang sing doyan asu”.
Bung Karno bergelar
Panglima Tertinggi ABRI, siapa yang menentangnya bisa celaka, menyerang tanpa
pasukan, sakti tanpa pusaka, dan menang perang tanpa merendahkan lawannya, kaya
tanpa harta, benderanya merah-putih. Beliau meninggal dalam genggaman manusia.
Dalam tembang Jawa berbunyi: “sing wani bakal wirang, yen nglurug tanpa bala,
digdaya tanpa aji apa-apa, lamun menang tanpa ngasorake liyan, sugih tan
abebandhu, umbulane warna jenang gula klapa. Patine marga lemes.”
Naik-turunnya Preside
RI ke-2 Suharto juga secara jelas diramalkan oleh Prabu Jayabaya pada
Bagian Akhir tembang Jawa butir 11 sampai 16 sebagai berikut: “Ana jalmo
ngaku-aku dadi ratu duwe bala lan prajurit negara ambane saprowulan panganggone
godhong pring anom atenger kartikapaksi nyekeli gegaman uleg wesi pandhereke
padha nyangklong once gineret kreta tanpa turangga nanging kaobah asilake swara
gumerenggeng pindha tawon nung sing nglanglang Gatotkaca kembar sewu sungsum
iwak lodan munggah ing dharatan. Tutupe warsa Jawa lu nga lu (wolu / telu sanga
wolu / telu) warsa srani nga nem nem (sanga nenem nenem) alangan tutup kwali
lumuten kinepung lumut seganten.
Beliau muncul
sebagai Pemimpin yang didukung oleh Angkatan Bersenjata RI (darat,
udara dan laut), berlambangKartikapaksi, memakai topi baja hijau (tutup
kwali lumuten) pada tahun 1966. Zaman pemerintahan Presiden Suharto
(Orde Baru) berlangsung selama 30 tahun, dan menurut Jayabaya ada
tiga raja yang menguasai tanah Jawa /Indonesia saat itu sebagai lambang
kekuasaan dari tiga kekuatan politik: Golkar-Parpol-ABRI. Ketiga
kekuatan itu menghilang saat Pak Harto mundur, karena saling berselisih.
Setelah itu tidak ada lagi raja yang disegani, dan para Bupat Manca Negara
(luar Jawa) berdiri sendiri-sendiri (otonom).
Setelah lenyapnya
kekuasaan tiga raja tersebut diatas, Jayabaya meramalkan datangnya seorang
Pemimpin baru dari negeri seberang, yaitu dari Nusa Srenggi (Sulawesi),
ialah Presiden BJ Habibie.
Ramalan Jayabaya
bagi Indonesia setelah tahun 2001 Indonesia akan menjadi sebuah negeri yang
aman, makmur, adil dan sejahtera sebagai akhir dari Ramalan Jayabaya
(Kala-surasa, 2001-2100 M), zaman yang tidak menentu (Kalabendu) berganti
dengan zaman yang penuh kemuliaan, sehingga seluruh dunia menaruh hormat. Akan
muncul seorang Satriya Piningit sebagai Pemimpin baru
Indonesia dengan ciri-ciri sudah tidak punya ayah-ibu, namun telah lulus Weda
Jawa, bersenjatakan Trisula yang ketiga ujungnya sangat tajam,
sbb:
“Mula den upadinem
sinatriya iku wus tan abapa, abibi, lola, wus pupus weda Jawa mung angendelake
trisula, landepe trisula sing pucuk gegawe pati utawa untang nyawa, sing tengah
sirik gawe kapitunaning liyan, sing pinggir-pinggir tolak colong njupuk
winanda.”
Ramalan selanjutnya
adalah:
“Inilah jalan bagi
yang selalu ingat dan waspada! Agar pada zaman tidak menentu bisa selamat dari
bahaya atau “jaya-baya”, maka jangan sampai keliru dalam memilih pemimpin.
Carilah sosok Pemimpin yang bersenjatakan Trisula Weda pemberian dewa. Bila
menyerang tanpa pasukan, kalau menang tidak menghina yang lain. Rakyat
bersukaria karena keadilan Tuhan telah tiba. Rajanya menyembah rakyat yang
bersenjata Trisula Weda; para pendetapun menghargainya. Itulah asuhannya
Sabdopalon – yang selama ini menanggung rasa malu tetapi akhirnya termasyhur-
karena segalanya tampak terang benderang. Tidak ada lagi yang mengeluh kekurangan;
itulah pertanda bahwa zaman tidak menentu telah usai berganti zaman penuh
kemuliaan, sehingga seluruh dunia pun menaruh hormat.”
Di zaman modern
abad ke-21 saat ini dengan berbagai persenjataan modern dan alat tempur yang
canggih, mulai dari senjata nuklir, roket, peluru kendali, dan lain-lainnya,
maka senjata Trisula Weda mungkin bukanlah senjata dalam arti
harafiah, tetapi adalah senjata dalam arti kiasan, tiga kekuatan yang mebuat
seorang Pemimpin disegani segenap Rakyatnya. Bisa saja itu adalah tiga sifat-sifat
sang Pemimpin, seperti: Benar, Lurus, Jujur (bener, jejeg,
jujur) seperti yang diungkapkan dalam tembang-tembang Ramalan Jayabaya.
Demikian pula
tentang sosok sang Pemimpin yang digambarkan sebagai Satriya Piningit,
bukanlah seseorang yang tiba-tiba muncul, tetapi Ia adalah seorang Pemimpin
Indonesia yang sifatnya tidak mau menonjolkan diri, tetapi Ia
bekerja tanpa pamrih, menyumbangkan tenaga dan pikirannya bagi kemajuan bangsa
dan negara. Sudah ada langkah-langkahnya yang nyata yang dapat ditelusuri dalam
kehidupannya sehari-hari.
Mungkinkah Sang
Satria Piningit ini muncul dalam waktu dekat untuk mengantarkan Indonesia
kepada Cita-cita para Pendiri Bangsa sebagaimana tercantum dalam Mukadimah UUD
1945, yaitu negeri yang aman, makmur, adil dan sejahtera bagi segenap Rakyat
Indonesia.
2 komentar:
DINASTI MATARAM BINANGUN
KEDATANGAN DINASTI YANG SAMAR TAPI NYATA
Posting Komentar