Upaya pemerintah melakukan pembaruan terhadap Kitab
Undang Undang Hukum Pidana buatan kolonial belanda pada 1917, seharusnya kita
sambut baik bila RUU KUHP itu mencerminkan watak Indonesia modern yang
demokratis, menghormati hak-hak asasi manusia dan prinsip-prinsip good governance.
Tetapi RUU KUHP yang di depan kita sekarang adalah sebuah
RUU yang sangat bertentang dengan cita-cita sebuah negara nasional modern,
merdeka dan demokratis, yang rakyatnya berdaulat dan pemerintahnya bersih.
Menyedihkan sekali bahwa RUU KUHP
itu, yang disusun oleh para ahli hukum Indonesia, temyata lebih represif, Iebih
fasistis dari pada KUHP buatan kolonial Belanda 90 tahun lalu.
Adalah sangat memilukan bahwa para
ahli hukum Indonesia yang menyusun RUU KUHP itu hanya bisa menciptakan RUU bagi
penguasa untuk menjajah bangsanya sendiri. Justru ketika Indonesia menjadi
negara paling korup terbesar ke-6 di antara 140 negara di dunia dan negara
paling korup nomor satu di Asia Tenggara.
Selama 62 tahun Indonesia merdeka,
baru tujuh tahun terakhir inilah, sejak reformasi 1998, pers Indonesia
memperoleh kemerdekaannya dan mulai melakukan perannya sebagai pilar keempat
dalam demokrasi.
Sebelum itu, sejak koran pertama, Bataviasche
Nouvelles en Politique Raisonnementes (Bataviasche Nouvelles) terbit di
Indonesia pada 7 Agustus 1744, pers di negeri ini tidak pernah merasakan apa
yang disebut Kemerdekaan Pers. Pemerintah Belanda, atas permintaan VOC (Vereenigde
Oost Indische Compagnie), membredel Bataviasche Nouvelles pada
1746 karena berita-beritanya yang tidak menyenangkan VOC. Sejak ituIah
sejarah pembredelan suratkabar berlangsung terus di negeri ini.
Pemerintah
Belanda, yang mengambil aIih pemerintahan di wilayah VOC ketika gabungan
perusahaan-perusahaan dagang Belanda di Hindia Timur itu bangkrut pada 1798,
meneruskan kebijakan pemberedelan. KUHP buatan Belanda pada 1917 dan berlaku
sampai sekarang, tetap memberlakukan pembredelan suratkabar dan memenjarakan wartawan
yang dianggap oleh pemerintah sebagai membahayakan ketertiban umum.
Ketika
Jepang menduduki Indonesia, mereka menempatkan pejabat-pejabat sensor di
redaksi koran dan radio untuk menyensor berita sebelum koran naik cetak atau
sebelum berita itu disiarkan.
Belanda
yang kembaIi menguasai Indonesia setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II,
meneruskan kebijakan sensor, pembredelan dan pemenjaraan wartawan yang mereka
anggap telah melakukan ”delik pers” (kejahatan pers). KUHP buatan Belanda itu
tetap digunakan pemerintah Indonesia sejak Soekarno sampai Susilo Bambang
Yudhoyono sekarang ini.
By: AbdullahAIamudi
0 komentar:
Posting Komentar