Selasa, 26 Agustus 2014

Fb Penggunaan Delik Pers Di Indonesia UUD 40

            

Upaya pemerintah melakukan pembaruan terhadap Kitab Undang Undang Hukum Pidana buatan kolonial belanda pada 1917, seharusnya kita sambut baik bila RUU KUHP itu mencerminkan watak Indonesia modern yang demokratis, menghormati hak-hak asasi manusia dan prinsip-prinsip good governance.
            Tetapi RUU KUHP yang di depan kita sekarang adalah sebuah RUU yang sangat bertentang dengan cita-cita sebuah negara nasional modern, merdeka dan demokratis, yang rakyatnya berdaulat dan pemerintahnya bersih.
            Menyedihkan sekali bahwa RUU KUHP itu, yang disusun oleh para ahli hukum Indonesia, temyata lebih represif, Iebih fasistis dari pada KUHP buatan kolonial Belanda 90 tahun lalu.
            Adalah sangat memilukan bahwa para ahli hukum Indonesia yang menyusun RUU KUHP itu hanya bisa menciptakan RUU bagi penguasa untuk menjajah bangsanya sendiri. Justru ketika Indonesia menjadi negara paling korup terbesar ke-6 di antara 140 negara di dunia dan negara paling korup nomor satu di Asia Tenggara.

            Selama 62 tahun Indonesia merdeka, baru tujuh tahun terakhir inilah, sejak reformasi 1998, pers Indonesia memperoleh kemerdekaannya dan mulai melakukan perannya sebagai pilar keempat dalam demokrasi.
            Sebelum itu, sejak koran pertama, Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementes (Bataviasche Nouvelles) terbit di Indonesia pada 7 Agustus 1744, pers di negeri ini tidak pernah merasakan apa yang disebut Kemerdekaan Pers. Pemerintah Belanda, atas permintaan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), membredel Bataviasche Nouvelles pada 1746 karena berita-beritanya yang tidak menyenangkan VOC. Sejak ituIah sejarah pembredelan suratkabar berlangsung terus di negeri ini.
          Pemerintah Belanda, yang mengambil aIih pemerintahan di wilayah VOC ketika gabungan perusahaan-perusahaan dagang Belanda di Hindia Timur itu bangkrut pada 1798, meneruskan kebijakan pemberedelan. KUHP buatan Belanda pada 1917 dan berlaku sampai sekarang, tetap memberlakukan pembredelan suratkabar dan memenjarakan wartawan yang dianggap oleh pemerintah sebagai membahayakan ketertiban umum.
            Ketika Jepang menduduki Indonesia, mereka menempatkan pejabat-pejabat sensor di redaksi koran dan radio untuk menyensor berita sebelum koran naik cetak atau sebelum berita itu disiarkan.

            Belanda yang kembaIi menguasai Indonesia setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, meneruskan kebijakan sensor, pembredelan dan pemenjaraan wartawan yang mereka anggap telah melakukan ”delik pers” (kejahatan pers). KUHP buatan Belanda itu tetap digunakan pemerintah Indonesia sejak Soekarno sampai Susilo Bambang Yudhoyono sekarang ini.

0 komentar:

Posting Komentar