Untuk lebih memperjelas bagaimana proses masuknya agama Islam di
Asia Tenggara ini, ada 3 teori diharapkan dapat membantu memperjelas tentang
penerimaan Islam yang sebenarnya:
Teori pertama dikemukakan oleh beberapa ahli dari belanda,
dianataranya Pijnappel, yang mengatakan bahwa asal mula islam menjalin kontak
dengan Asia Tenggara berangkat dari wilayah Gujarat dan Malabar, menurutnya
orang-orang arab yang bermahzab Syafi’I, setelah berimigrasi dan menetap
diwilayah india, yang kemudian membawa islam kenusantara. teori ini lalu
dipertegas oleh Snouck Hurgronje yang mengatakan bahwa ketika komunitas muslim
arab sudah mapan di beberapa kota di pelabuhan anak benua india, maka
mereka masuk kedunia melayu-Nusantara sebagai penyebar agama islam pertama.
setelah itu barulah orang-orang arab, terutama yang menisbahkan dirinya sebagai
keturunan Nabi Muhammad, yaitu dengan memakai gelar Sayyid dan Syarif, yang
menjalankan dan menyelesaikan proses dakwah islam baik sebagai ustad
maupun sebagai Sulthan.
Kontak paling awal ini dapat disebut dengan kontak perdagangan.
Hal ini didasarkan pada catatan perjalanan Sulaiman, Marco Polo dan Ibn
Battuta, yang menyebutkan bahwa Muslim Arab yang bermazhab Syafi’I dari Gujarat
dan Malabar di India, yang membawa islam ke Asia Tenggara. Selain itu,
Pijnappel meyakini bahwa melalui perdagangan sangat dimungkinkan terjadinya
hubungan antara islam dan Asia Tenggara, bahkan menurutnya istilah-istilah
Persia dari india digunakan dalam bahasa masyarakat kota-kota pelabuhan.
Teori kedua disampaikan oleh fatimi yang memberikan
kesimpulan bahwa islam masuk Asia Tenggara, terutama Nusantara berasal
dari Bengal ( Banglades). Hipotesis Fatimi, bahwa islam datang pertama kali di
sekitar abad ke-8 H (14 M). Tome Pires juga memberikan dukungan pada Fatimi,
bahwa mayoritas orang terkemuka di pasai adalah orang Bengali atau
keturunan mereka. Islam muncul pertama kali pada abad ke-11 di semenajung
Malaya adalah dari arah pantai timur, bukanlah barat (Malaka), yaitu melalui
kanton, Phanrang (Vietnam), Leran dan Trengganu. Selain itu, beberapa
prasati yang ditemukan di Trengganu juga lebih mirip dengan prasasti yang ada
di leran Jawa Timur.
Teori kedua ini juga disebut dengan teori Persia. Teori ini
menitikberatkan pandagannya pada kesamaan kebudayaan masyarakat di Asia
tenggara khususnya di Indonesia dengan Persia. Pandangan ini sedikit mirip
dengan pandangan Morrison yang melihat persoalan masuknya islam diindonesia
dari sisi kesamaan mazhab, meski perbedaan asal muasalnya.
Namun demikian teori Persia mempunyai aspek-aspek kelemahan yang
akan dijawab oleh teori ketiga yakni teori Arabia.
Teori ketika menyebutkan bahwa islam datang ke Asia Tenggara
bukan dari Bengal, melainkan langsung dari Arab, tepatnya di Hadramaut. Menurut
teori ini, Islam masuk ke Asia Tenggara sejak masa abad pertama Hijriah atau
abad ke-7 dan abab ke-8 Masehi. Proses masuknya islam pada masa ini, ditandai
dengan dominasi pedagang Arab dalam perdagangan Barat-Timur. Teori ini didukung
dengan fakta dari sumber-sumber Cina yang menyebutkan bahwa menjelang abad
ke-7, ada seorang pedagang Arab yang menjadi pemimpin pada sebuah pemukiman
muslim Arab dipesisir pantai Sumatera.
Crawfurd mendukung teori ini, meskipun ia tetap mempertimbangkan
adanya peranan kaum Muslimin yang berasal dari pantai timur india. Sementara
Kaijzer berpendapat bahwa islam di Asia Tenggara memang berasal dari Timur
Tengah, tetapi lebih tepatnya berasal dari mesir, karena Muslim di Asia
Tenggara khususnya di Nusantara mayoritas bermazhab Syafi’I yang sama dengan
mesir. Niemann dan de Hollander sedikit merevisi pandagan keijzer tersebut,
dengan menyatakan bahwa sumber islam di Nusantara berasal dari
Hadrawmaut.Sedangkan Veth hanya menyebut “orang-orang Arab”, tanpa mengungkapkan
lebih dalam apakah dari Hadrawmaut, mesir, atau bahkan india.
Teori ini juga dipegang kuat oleh hamka, yang mengatakan bahwa
meskipun terdapat peran Persia maupun india, tetapi Islam pertama kali masuk di
Asia Tenggara di bawa langsung oleh Muslim Arab. Begitu juga dengan Al-Attas
yang menegaskan bahwa Islam masuk Asia Tenggara di bawa langsung oleh Muslim
Arab. Hal ini dapat dibuktikan dengan apa yang disebutnya sebagai “Teori umum
tentang islamisasi Nusantara”, yang harus didasarkan pada sejarah literatur
Islam Melayu-Indonesia dan sejarah Pandangan- Dunia Melayu sebagaimana yang
terlihat pada perubahan konsep dan istilah kunci dalam literatur
Melayu-Indonesia pada abad ke-10 sampai ke-11. Menurutnya, setelah islam
datang, telah terjadi pergesaran pandangan dunia melayu. Begitu pula sebelum
abad ke-17, seluruh literature Islam yang relevan tentang keagamaan di Asia
Tenggara, justru berasal dari nama-nama Arab, bukan dari muslim India. Bahkan
nama-nama dan gelar-gelar yang dibawa oleh para pembawa Islam ke Asia Tenggara
adalah Muslim Arab-Persia.
Dari uraian diatas dapat dilihat persamaan dan perbedaan dari
masing-masing teori. teori Gujarat dan Persia memiliki persamaan pandangan
mengenai masuknya Islam ke Asia Tenggara khususnya Nusantara dari Gujarat.
Perbedaannya terletak pada teori Gujarat dan mempersandingkan dengan ajaran
mistik india.
Teori Persia juga memandang adanya kesamaan mistik muslim
Indonesia denga ajaran mistik Persia. Gujarat dipandang sebagai daerah yang
dipengaruhi Persia, dan menjadi tempat singgah ajaran Syi’ah ke Indonesia.
Dalam hal memandang Gujarat sebagai tempat singgah (transit) bukan pusat,
sependapat dengan Teori Arabia/ Mekkah.
Tetapi teori Mekkah memandang Gujarat sebagai tempat singgah
perjalanan perdagangan laut antara Indonesia dan Timur Tengah, sedangkan ajaran
islam diambilnya dari Mekkah atau dari Mesir. Teori Gujarat tidak melihat
peranan bangsa Arab dalam perdagangan ataupun dalam penyebaran agama Islam di
Indonesia. Teori ini lebih melihat peranan pedagang india yang beragama Islam
dari pada Bangsa Arab yang membawa ajaran Islam.
Teori keempat atau yang terakhir mengatakan bahwa penyebaran
Islam di Asia Tenggara didorong oleh “Pertarungan”antara Islam dan Kristen
untuk mendapat pengikut atau penganut masing-masing agama. Teori ini
dikemukakan oleh Schrieke, pendapat Schrieke didasarkan bahwa pada
kenyataannya, ekspansi yang dilakukan oleh bangsa portugis, yang kemudian
menjadi upaya kolonialisasi, merupakan sebuah kelanjutan dari mata rantai
perang salib di Eropa dan Timur Tengah. Menurutnya, pertualangan yang dilakukan
oleh bangsa Portugis ke Asia merupakan ambisi dan keinginannya untuk mencapai
sebuah kehormatan yang dikombinasikan dengan semangat keagamaan. Setelah mereka
mampu mengusir kaum Moors ( Muslim) dari semenanjung Liberia, lalu menaklukan
beberapa wilayah disepanjang pesisir barat Afrika hingga sampai mengelilingi
Tanjung Harapan, Afrika Selatan, sebagai jalan menuju India dan Kepulauan
Melayu-Indonesia.
Pendapat Schrieke diperkuat oleh Reid yang mengatakan bahwa pada
paruh abad ke-15 dan ke-17 telah terjadi peningkatan dan penguatan polarisasi
serta eksklusivisme agama, terutama agama Islam dan Kristen. Namun teori ini
mendapat kritik dari Naquib Al-Attas yang cukup keras. Menurutnnya, Kristen sebagai
Agama, bukanlah alasan yang cukup penting untuk menunjukan penyebaran Islam di
Asia Tenggara. Karena, bagi Al-Attas Kristen muncul dan mendapat pengaruhnya
dinusantara ketika abad ke-19. Penolakan Al-Attas ini wajar, karena ia
bersiteguh bahwa Islam tersebar di Asia Tenggara sejak abad ke-1 Hijriah atau
abad ke-7 Masehi.
0 komentar:
Posting Komentar