Rabu, 06 Agustus 2014

Sejarah Pemikiran Politik Mohammad Natsir


Mohammad Natsir yang bergelar Datuk Sinaro Panjang dilahirkan di Sumatera Barat, 17 Juli 1908, dan wafat di Jakarta, 6 Februari 1993 dalam usia 84 tahun. Natsir dikenal sebagai seorang cendikiawan-budayawan muslim, tokoh politik, da’i dan negarawan yang sangat berkontribusi di Indonesia, bahkan dunia Internasional.
Natsir berasal dari keluarga muslim yang taat, dan dimasa remaja mulai berkenalan dengan pendidikan barat. Pada awalnya ia bersekolah di HIS (Hollands Inlandsche School) di solok pada tahun 1916-1923, kemudian Mulo (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang pada tahun 1923-1927. Baru kemudian pada tahun 1927-1930 melanjutkan pendidikan di AMS (Algemene Middelbare School) Bandung. Setelah itu Natsir belajar di Persatuan Islam (Persis) dibawah asuhan ustadz A.Hasan. Selanjutnya Natsir mengambil kursus guru diploma LO (Lager Onderwijs) dan pada tahun 1932-1942 dipercaya sebagai direktur Pendidikan Islam (Pendis) Bandung. Selain aktif di majalah pembela Islam, ia juga terlibat di Jong Islameten Bond yang didirikan oleh Haji Agus Salim.
Tahun 1946 Natsir mendirikan partai MASYUMI (Majelis Syura Muslimin Indonesia) yang dipimpinnya sampai tahun 1957. Natsir juga pernah menjabat sebagai menteri penerangan (1946-1949). Pada waktu itu Natsir berhasil membujuk Sjafruddin Prawiranegara dan Jenderal Sudirman untuk kembali ke Jogja dan menyerahkan kekuasaan kepada Soekarno Hatta karena tersinggung atas kesepakatan Roem Royen. Natsir juga melunakkan hati Daud Beureuh untuk bergabung dengan Sumatera Utara. Pada waktu Natsir menjadi perdana Menteri (1950-1951), Indonesia bergabung dalam PBB.
Hanya saja karena sikapnya yang kritis menyebabkan Soekarno memecat Natsir. Apalagi pada waktu itu Soekarno sudah mulai mendekat dengan China melalui Partai Komunis Indonesia. Puncaknya, dari tahun 1962-1966 Natsir menjadi tahanan politik orde lama. Hal ini merupakan lanjutan dari perdebatan panjang M. Natsir dengan golongan nasionalis melalui majalah pembela Islam. M. Natsir yang pada awalnya begitu mendukung nasionalisme bahkan cukup sering menghadiri orasi Soekarno, berubah menjadi mengkritik kelompok ini karena sikap mereka yang mulai merendahkan Islam. Misalnya, pernyataan Dr. Sutomo yang mengatakan bahwa pergi ke Digul lebih baik daripada pergi naik haji ke Makkah. Dan beberapa serangan lainnya dalam kampanye nasionalis seperti kritikan terhadap bolehnya poligami dalam Islam.
Ketika orde baru berkuasa Natsir tetap kritis melalui organisasi Dewan Da’wah Islam Indonesia yang didirikannya. Tahun 1967 Natsir dipilih menjadi Wakil ketua Muktamar Islam Internasional di Pakistan. Selain itu Natsir juga aktif sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Al Islami (World Muslim Congress) dan anggota inti Rabithah Alam Al Islami.
Ditengah kesibukannya yang sangat banyak, Natsir masih sempat menulis beberapa buku antaralain Capita Selecta (3 jilid), Fiqhud Da’wah, Marilah Shalat, Revolusi Indonesia, Islam Sebagai Dasar Negara, Dari Masa Ke Masa (beberapa jilid), Kumpulan Khutbah Hari Raya, Islam dan Kristen di Indonesia, Kebudayaan Islam, Islam dan Akal Merdeka, Di Bawah Naungan Risalah, Kode dan Etik Da’wah, Tugas dan Peranan Ulama, Kubu Pertahanan Mental Dari Abad Ke Abad, Membangun Umat dan Negara, Berbahagialah Perintis, World of Islam Festival Dalam Perspektif Sejarah, Asas Keyakinan Agama Kami, Mencari Modus Vivendi Antar Umat Beragama Di Indonesia, Tentang Pendidikan, Pengorbanan, Kepemimpinan, Primordialisme dan Nostalgia, Demokrasi Di Bawah Hukum, Pesan Perjuangan Seorang Bapak-Percakapan Antar Generasi, dan lain-lain.
Natsir banyak mendapatkan penghargaan, antaralain pada tahun 1957 mendapat bintang ’Nichan Istikhar’ (Grand Gordon) dari Presiden Tunisia, Lamine Bey, atas jasanya dalam membantu perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara. Tahun 1980, Natsir juga menerima penghargaan internasional (Jaa-izatul Malik Faisal al-Alamiyah) atas jasanya di bidang pengkhidmatan kepada Islam untuk tahun 1400 Hijriah. Meskipun demikian, perdana menteri pertama Indonesia ini baru mendapatkan pengakuan sebagai pahlawan nasional pada tanggal 10 November 2008. Hal ini lebih disebabkan karena kedekatan Natsir dengan Islam dan pemihakan Soekarno dan orde baru kepada pemahaman sekularisme. Bahkan pada masa orde lama pada periode demokrasi terpimpin, Natsir pernah dijebloskan ke penjara tanpa pengadilan karena dukungannya terhadap PRRI/Permesta yang merupakan gerakan kritik terhadap kedekatan Soekarno terhadap China dan pemusatan pembangunan hanya di pulau jawa.

Dalam pemikiran Islam, Natsir banyak terpengaruh oleh beberapa tokoh antaralain Ahmad Husain, HOS Tjokroaminoto, Imam Asy Syahid Hasan Al-Banna,  Imam Al-Hudhaibi, Syaikh Agus Salim dan Syaikh Ahmad Surkati. 

0 komentar:

Posting Komentar