Kebijakan Pemerintahan
dalam keagarariaan di Indonesia sepertinya selalu terjadi persoalan pelik dimana
terjadi kontradiksi kepntingan umum dan rakyat kecil yang tidak tercipta
sinergis diantara dua kepentingan namun terdapat juga prestasi yang pantas dibanggakan. BPN ketika masih bernama Direktorat Jenderal
Agraria dalam Depertemen Dalam Negeri sejak tahun 1981 (melalui SK Mendagri No.
189 dan 220 Tahun 1981 meluncurkan suatu proyek administrasi/pensertifikatan
secara massal bernama Proyek Operasi Nasional Agrari (Prona). Memang tingkat
keberhasilannya masih terlalu rendah. Dalam
masa empat tahun pertama yang (1981-1985) misalnya, Prona yang
mentargetkan 795.000 sertifikat pertahun ternyata realisasinya hanya mencapai rata-rata 250.000 sertifikat
pertahun atau sekitar 30% atau bahkan hanya setara 1,5 kali prestasi pendaftaran tanah konvensional/sporadic pada
masa itu yakni 168.000 sertifikat pertahun. Bandingkan misalnya dengan kinerja
Proyek Ajudikasi sejak dimulainya yaitu tahun 1994 hingga menjelang akhir tahun
2000. Proyek ini berhasil melampaui terget untuk kurun waktu tersebut dan
prestasi produktivitasnya mencapai lima
hingga enam kali lipat pendaftaran tanah konvensional / sporadic.
Prestasi kelembagaan pendaftaran
tanah lainnya yang pantas kita catat terletak pada tataran kebijakan menjelang
akhir abad 20, yaitu diakomodasikannya
kehendak masyarakat pemilik tanah untuk lebih memperoleh kepastian dalam
perlindungan hukum dengan telah diperolehnya sertifikat tanah oleh pemegang
hak. Prestasi tersebut ditandai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah RI
No. 24 Tahun 1997 dan UU N0. 20 tahun 2009 tentang Pendaftaran Tanah. Isi peraturan
pokok pendaftaran tanah yang baru itu hemat penulis memang jauh lebih baik
daripada Peraturan Pemerintah RI No. 10 Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah RI
No. 24 Tahun 1997 sebelumnya yang
digantikannya. Disempurnakan kembali peraturan
tersebut UU N0. 20 tahun 2000 dan
KEPRES N0. 34 tahu 2003 dengan KEPRES N0. 34 tahun 2003 dibarengi
PERPRES N0. 10 tahun 2006, mengatur pelaksanaan dilapangan bagi penanganan Pertanahan oleh Badan Pertanahan Nasional.
Kini pemilik sertifikat tanah
sebagai pemegang hak milik atas tanah tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun
setelah sertifikat tersebut “berusia” lima
tahun. Hanya pada usia sertifikat dibawah lima
tahun (balita) sejalan pihak lain diberikan kesempatan untuk menggugat
kepemilikan atau penguasaan hak atas tanah si pemegang sertifikat bilamana
memang mempunyai bukti yang juga berkekuatan hukum sama derajatnya. Penegasan
tersebut bilamana kita baca dari bunyi Pasal 32 Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997:
(1)
Sertifikat merupakan tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang
termuat didalamnya sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan
data yang ada dalam surat
ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
(2)
Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara
sah atas nama orang atau badan hokum yang memperoleh tanah tersebut dengan
etikad baik dan secara nayata menguasainya, maka pihak lain yang merasa
mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut
apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak
mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan kepala
Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke
Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penertbitan sertifikat tersebut.
Jadi jelasnya sekali
bidang tanah milik kita sudah disertifikatkan maka, tidak mudah bagi orang lain atau pihak manapun
untuk merebutnya dari tangan kita, bahkan bunyi Putusan MA tanggal 3 Nopember
1971 Nomor 383/K/Sip/1971 adalah
Pengadilan tidak berwenang membatalkan sertifikat. Hal tersebut termasuk kewenangan
Administrasi.
0 komentar:
Posting Komentar