Senin, 04 Agustus 2014

SERTIFIKASI HAK ATAS TANAH DI INDONESIA PERWUJUDAN PS 33 UUD 1945


Kebijakan Pemerintahan dalam keagarariaan di Indonesia sepertinya selalu terjadi persoalan pelik dimana terjadi kontradiksi kepntingan umum dan rakyat kecil yang tidak tercipta sinergis diantara dua kepentingan namun terdapat juga prestasi yang pantas  dibanggakan. BPN  ketika masih bernama Direktorat Jenderal Agraria dalam Depertemen Dalam Negeri sejak tahun 1981 (melalui SK Mendagri No. 189 dan 220 Tahun 1981 meluncurkan suatu proyek administrasi/pensertifikatan secara massal bernama Proyek Operasi Nasional Agrari (Prona). Memang tingkat keberhasilannya masih terlalu  rendah. Dalam  masa empat tahun pertama yang (1981-1985) misalnya, Prona yang mentargetkan 795.000 sertifikat pertahun ternyata realisasinya hanya  mencapai rata-rata 250.000 sertifikat pertahun atau sekitar 30% atau bahkan hanya setara 1,5 kali prestasi  pendaftaran tanah konvensional/sporadic pada masa itu yakni 168.000 sertifikat pertahun. Bandingkan misalnya dengan kinerja Proyek Ajudikasi sejak dimulainya yaitu tahun 1994 hingga menjelang akhir tahun 2000. Proyek ini berhasil melampaui terget untuk kurun waktu tersebut dan prestasi produktivitasnya mencapai lima hingga enam kali lipat pendaftaran tanah konvensional / sporadic.

Prestasi kelembagaan pendaftaran tanah lainnya yang pantas kita catat terletak pada tataran kebijakan menjelang akhir  abad 20, yaitu diakomodasikannya kehendak masyarakat pemilik tanah untuk lebih memperoleh kepastian dalam perlindungan hukum dengan telah diperolehnya sertifikat tanah oleh pemegang hak. Prestasi tersebut ditandai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah RI No. 24 Tahun 1997 dan UU N0. 20 tahun 2009 tentang Pendaftaran Tanah. Isi peraturan pokok pendaftaran tanah yang baru itu hemat penulis memang jauh lebih baik daripada Peraturan Pemerintah RI No. 10 Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah RI No. 24 Tahun 1997  sebelumnya yang digantikannya. Disempurnakan kembali peraturan  tersebut  UU N0. 20 tahun 2000  dan  KEPRES N0. 34 tahu 2003 dengan KEPRES N0. 34 tahun 2003 dibarengi PERPRES N0. 10 tahun 2006, mengatur pelaksanaan dilapangan bagi  penanganan Pertanahan oleh Badan Pertanahan Nasional.

Kini pemilik sertifikat tanah sebagai pemegang hak milik atas tanah tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun setelah sertifikat tersebut “berusia” lima tahun. Hanya pada usia sertifikat dibawah lima tahun (balita) sejalan pihak lain diberikan kesempatan untuk menggugat kepemilikan atau penguasaan hak atas tanah si pemegang sertifikat bilamana memang mempunyai bukti yang juga berkekuatan hukum sama derajatnya. Penegasan tersebut bilamana kita baca dari bunyi Pasal 32 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997:

(1)     Sertifikat merupakan tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
(2)   Dalam hal atas suatu bidang   tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hokum yang memperoleh tanah tersebut dengan etikad baik dan secara nayata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penertbitan sertifikat tersebut.

Jadi jelasnya sekali bidang tanah milik kita sudah disertifikatkan maka, tidak  mudah bagi orang lain atau pihak manapun untuk merebutnya dari tangan kita, bahkan bunyi Putusan MA tanggal 3 Nopember 1971  Nomor 383/K/Sip/1971 adalah Pengadilan tidak berwenang membatalkan sertifikat.  Hal tersebut termasuk kewenangan Administrasi.


0 komentar:

Posting Komentar