D A S A R H U K U M K E P E M I L I K A N
KELUARGA BESAR
NJIMAS ENTJEH SITI AMINAH (Osah)
Alias MEVRAU JUSTINA REIGENT
JOHN HENDRY VAN BLOOMESTEIN
“ Mengupas Tuntas kasus Pertanahan
berdasarkan Fakta Hukum ”
Materi ini merupakan kajian mendalam mengurai kasus
hukum pertanahan Indonesia yang telah menjadi ‘momok’ dikalangan komunitas
hukum khususnya dan masyarakat umumnya, terjadinya permasalahan ini berkaitan erat dengan di’kotomi’nya hak - hak rakyat
sebagai objek penderita,akibat kultur birokrasi yang menyisihkan aturan
‘moral ethik’ dalam produk kebijakan tanpa menggunakan kaidah hukum yang
berlaku.Dengan mengatas namakan hukum dan keadilan untuk
semua, Keluarga Besar Njimas Entjeh Siti Aminah sebagai
salah satu korbannya melalui mekanisme prosedural hendak mengajak semua
pihak melakukan aksi moral dalam memerangi praktek manipulatif yuridis pertanahan demi terbangunnya dialektika ‘fair play’ kebijakan yang ber’sinergi’
dengan esensi keadilan.
MAKSUD DAN TUJUAN
Pembangunan hukum di wilayah pertanahan semestinya menekankansasaran
dalam membina sikap mental pelaku birokrat danmengkondisikan
piranti hukum sesuai dengan kemurnian maksud atas dilahirkannya
Undang Undang, disisi lain adanya kemauan melekatkan ketertiban hukum
di tengah masyarakat yakni dengan mewujudkan kepastian hukum yangberkeadilan,
dan dihargainya hak kepemilikan rakyatsesuai koridor hukum maupun
aturan moral yang berlaku. Hal inilah yang menurut hemat kami harus mendapatkan skala
prioritas, mengingat timbulnya tumpang tindih kepemilikan (sertifikat
ganda)selama ini sudah sedemikian meresahkan kita semua. Secara
akumulatif kasus pertanahan ini tidak dapat dihitung lagi berapa persisnya,
namun dengan sekedar menyuarakan opini lewat media ataupun mimbar
dialogis, diskusi, seminar dan semacamnya tidak akan
menghentikan dialektika kekusutan yang sangat tidak manusiawi ini.
Perlunya kitabangun kebersamaan sikap dalam merumuskan
siasat yangakseleratif dan kontekstual dengan
memancangkan tekad aksiyang mampu menerobos pusat
nurani aparatlah kiranya dapat mencapai hasil yang paling konkrit.
Dilatar belakangi kenyataan oleh terabaikannya
hakekat kemanusiaan dalam aspek hukum pertanahan terutama
dengan lahirnya kerancuan hak kepemilikan yang disebabkan olehketidak
tertiban administrasi dan terutama unsur manusiasebagai sumber
dari inti masalah, hendaklah menjadi pemacu kebersamaan kita untuk mengurai
benang kusut ini menjadi karya anak bangsa sekarang demi
anak cucu kita nanti, mengingatmendiamkan perilaku yang lari dari roh
kemanusiaan ini tidak sekedar dosa kita pada Allah namun
juga kepada segenap anak keturunan kita.
Melalui konsep ini kami serukan: “Mari bangkit
dari tidur panjang kita yang telah mendiamkan persoalan bangsa
yang sangat memprihatinkan ini” agar dipecahkan demi membangun
ahlak bangsa dan atau kharakter kebangsaan (character
building) yang ‘sehat’ jasmani rohani serta dalam
rangka meningkatkan harkat martabat dalam berbangsa dan bernegara.
Untuk itulah melalui konsepsi ini kami mengetuk hati kepada:
1. Pemerintah Republik Indonesia dan Lembaga
Tinggi Negara
Yaitu kepada seluruh Pejabat/Instansi yang
terkaitdengan permasalahan pertanahan, kami mengharapkan kesadarannya untuk melakukan
perubahan sikap mentalyang selaras
-2-
dengan nilai nilai dasar
kemanusiaan dalam mensikapikasus yang timbul
akibat kesalahan kebijakan oknum pejabat yang terdahulu dan merubah
perilaku yangme’lenceng’ jauh dari segi keadilan. Mengingat
kebijakan yang ‘sesat’ oleh Pemerintahan yang lalu adalah juga
menjadi tanggung jawab moral Pemerintah sekarang, Hak hak Rakyat yang telah
diakui secara hukum harus dihormati sesuai kadar kemanusiaan yang melekat terhadap perjuangannyadalam memperoleh
haknya tersebut. Pembelaan dalam dimensi perlindungan hak
rakyat adalah bagian integraldari tanggung jawab Pemerintah sebagai
‘police state’ karena dibelahan dunia manapun ketentuan tersebut
menjadi budaya dan strategi politik maupun tanggung jawab Pemerintah, apalagi
dalam kaitannya sebagai Negara Hukum yang berdaulat adil dan
makmur, dimana hak rakyat pun harus memiliki kedaulatan yang harus
diayomi sesuai norma keadilan dan aturan hukum yang berlaku.
Kita masih ingat terjadinya Revolusi rakyat
Indonesia atas:
a. Kemerdekaan Republik Indonesia, tahun 1945 dari belenggu
penjajahan
b. Kejatuhan Pemerintahan Ir. Soekarno, tahun 1965,
yang memiliki esensi dalam ketidak
mampuannya untuk mengentaskan ambruknya
perekonomian dan perpolitikan dalam
Negeri
c. Runtuhnya Dinasti Soeharto, tahun 1997, yang
memiliki esensi aktual atas tuntutan
dilakukannya reformasi menyeluruh akibat dikebirinya
hak azasi manusia dan
kegerahan rakyat atas ‘status
quo’ yang totaliterditambah semakin merajalelanya
korupsi yang melambangkan
keserakahan danbobroknya birokrasi
Hendaklah dijadikan penyadaran: “Betapa rakyat
sangat muak dengan segala bentuk korupsi, kolusi, penindasandan sistem yang meng’kangkangi’
hak hak rakyat”.
Kita sepakat untuk tidak terjadi revolusi lagi,
sebagai akibat ketidak percayaan rakyat kepada pemerintah yangtidak
melakukan apapun dalam memenuhi tuntutan reformasi disegala
bidang. Untuk itu melalui kesempatan ini kami mengingatkan sekaligus
sebagai bentuk ‘seruan moral’ agar Pemerintah melakukan
perombakan sikap mental birokrat untuk mengedepankan kepentingan
rakyat terutama dalam wilayah pertanahan, yaitu pengembalian hak milik
rakyat secara syah atas tanah yang telah di’klaim’ sebagaiMilik
Negara maupun terbitnya hak lain diatas objek tanah yang sama, sebagai akibat
kesalahan kebijakanyang penuh aroma ‘uang’ ataupun pemutar
balikan fakta hukum.
2. Praktisi Hukum Pertanahan
Sebagai sesama pemerhati sosial kemasyarakatanterutama
dalam hukum pertanahan, kami mengajak para praktisi untuk bersatu
membentuk Komisi Independen Bela Hukum Pertanahan (KIBHuP) yang
membedakan dengan Wadah yang sudah ada terutama dalam melakukan
pengkajian lebih mendasar terhadap pendalaman materi Kasus
Pertanahanmaupun gerakan moral kebangsaan yang bersifat
independen ( tidak disetir kekuatan manapun ),melakukan gerakan revolusioner dan memiliki
daya dobrak / menjelajah langsung hingga sarang para ‘penyamun’ yang
selama ini menjadi borok dan biang kerok masalah pertanahan
di Indonesia, kami menganggap situasi yang ‘begitu liar’ selama
ini harus segera disikapi / diatasi dengan segera, demi tanggung jawab kita
sebagai Insan Hukumyang ‘nota bene’ berada di ‘gardu
keilmuan terdepandalam penegakan Hukum Pertanahan di Bumi Nusantara ini.
Mengingat ketidak adilan di hukum
pertanahan memiliki esensi pelanggaran terhadap hak azasi
manusia, makapen’canangan’ pembentukan gerakan ini juga
hendak merujuk pada ketentuan Piagam Persatuan Bangsa Bangsa (PBB)
tentang Hak Azasi Manusia dari hasil Konferensi tingkat tinggi sedunia,disamping
itu terbinanya kerja sama secara koordinatif dengan
Organisasi sejenis di belahan dunia lain akan memberikan sumbangsih dalam
membentuk format / ‘proto type’ Wadah dimaksud yang ‘kredible’,
‘acceptable’ dan memiliki mobilitas dalam menyelesaikan
aspek hukum yangdiperjuangkan.
Kebersamaan sikap ini juga dilandasi kepentingan
‘logic’ ataster’aniaya’nya hak rakyat yang sesungguhnya harus
dihormati dan dibela namun akibat ‘serba’
ketidak berdayaannya maupun demikian tajamnya cengkeraman
kekuatan lain (konspirasi jahat oknum pejabat denganspekulan
tanah berkantong tebal berhati kanibal), rakyat yang memang
lemah terinjak injak pula harkat danmartabatnya. Semakin maraknya
-3-
persoalan ini telah mendudukan pada tercabiknya
moralitassebagai bangsa yang beradab bersendikan hukum, agar
diangkat sebagai penggerak motivasi yang ‘magis’ untuk menyelami
masalah disertai ke’gamangan’nya dalammerespon ajakan moral ini
yang senafas denganpertanggung jawaban kita sebagai Warga Negara
yang memiliki kepentingan dalam mengangkat supremasi hukum atas terbinanya
hakekat keilmuan yang telah kita dalami.
Dengan berpijak pada sedemikian esensialnya
permasalahan yang dihadapi, maka kami merasa perlu melakukan pembahasan berikut
ini sebagai bahan rujukan (‘study’ kasus) untuk
mendapatkan tambahan pendalaman materi yang hendak kita rumuskan bersama.
FAKTA HUKUM I
(Pembelian Pertama)
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pada tahun 1870
di era Pemerintahan Hindia Belanda, diberlakukan Undang Undang ‘Agrarische
Wet’ (AW) sebagai akibat desakan para pengusaha besar yang bergerak
dibidang Agrobisnis, hal ini sejalan dengansemangat liberalisme yang
berkembang, menuntut penggantian sistem monopoli Negara dan
politik ‘cultur stelsel’ (kerja paksa) dengan sistem persaingan
bebas dan sistem kerja bebas sesuaikonsepsi
kapitalisme liberal, disamping itu adanya nuansa kemanusiaan dari
pemerhati sosial di Belanda atas situasipenderitaan sangat hebat dikalangan
kaum tani di Indonesia.
Ketentuan pelaksanaan ‘AW’ ini diatur dalam
bentuk Peraturan dan Keputusan, salah satunya apa yang dikenal sebagai ‘Agrarisch
Besluit’ (diundangkan dalam S. 1870-118), dari Ketentuan inilah
melahirkan hak Eigendom (kepemilikan), Erfpach (guna
usaha),Opstal (guna bangunan), Ver huur (sewa), Concessie (untuk
perkebunan besar) dsb.
Dalam pada itu tahun 1937-1940, Njimas
Entjeh Siti Aminah(Osah) sebagai Warga Asli Pribumi melalui
Perusahaan yang didirikan bernama NV. Bloomkring melakukan
serangkaianpembelian (pertama) tanah Negara dalam bentuk ‘Hak
Eigendom’ di beberapa lokasi atas perwujudannya dalam pemanfaatan dana yang
dihimpun selama 25 tahun lamanya sebagai istri seorang Gubernur Jendral Pemerintahan
Hindia Belanda yang kala itu dikalangan warga pribumi dikenal santun,
bijak dan berjiwa sosial tinggi yang membedakannya
dengan pejabat sebelumnya, bernama John Henry Van Bloomestein (seorang
duda), keinginan mempersunting warga pribumi adalah sebagai perwujudan
kedekatan dengan ‘aroma’ kepribadian Indonesia.
Pelaksanaan pembelian tersebut semuanya telah
disyahkan dan didaftarkan pada Kantor Overschrijvings Ambtenaar sesuaiOverschrijvings
Ordonnatie S. 1834-27 yang dipetakan kantorKadaster menurut
Peraturan Engelbrecht. Bukti kepemilikan tersebut
ditandatangani oleh pejabat yang saat itu berwenang yakniPieter Cornelis
Nelson. Selanjutnya serah terima hak atas tanah (yuridische
levering) dicatat pada Microchip Data – ARNAS(Arsip
Nasional Belanda) dan sekarang dapat pula di cek kebenarannya di kantor Arsip
Nasional Republik Indonesia (ANRI). Adapun bukti kepemilikan
sebagai pengesahan atas pembelian(pertama) tanah
dimaksud berupa: a. Acta Van Eigendom / Akta Hak Milik
b. Grosse Acta / Riwayat / Asal
usul / Sejarah Tanah
c. Meetbrief Van Ner Parcel / Surat
Ukur
d. Omschrijving / Data Uraian
e. Peta Eigendom
Sesuai bunyi pasal 570 KUUHPdt, ‘Eigendom’ memiliki
arti sebagaiHak untuk dengan leluasa menikmati kegunaan sesuatu benda dan
untuk berbuat bebas tehadap benda yang bersangkutan dengan kekuasaan
sepenuhnya. Dengan demikian adanya corak:kewenangan individual yang
luas dan kuat, disamping memiliki sifat ‘pertuanan’
yang begitu istimewa juga bersifat kenegaraan /kebangsawanan (Land
heerlijke rechten), hal inilah yang membedakan dengan jenis hak lainnya.
Pembelian tanah dimasud oleh Njimas Entjeh dilatar
belakangi adanya keinginan untuk:
a. Dikelola sebagai lahan pekebunan dan pertanian
terutama yang memiliki kesesuain sifat
tanaman dengan unsur tanah masing masing lokasi.
b. Memanfaatkan areal pertanian dalam memberdayakan
kaum petani yang selama itu
menghadapi kesulitan ekonomi yang cukup parah akibat perilaku
kaum feodal yang lebih
-4-
bersikap sebagai ‘penghisap’ dari pada
menghargai hak hak petani, hal demikian berbalik
arah dengan pola yang dikembangkan oleh Njimas
Entjeh sebagai warga pribumi asli
yang memiliki pendekatan sosial
kemasyarakatannya,berkehendak membuka lapangan
pekerjaan yang seluas mungkin dalam rangka peningkatan
taraf hidup mereka melalui
sistem upah kerja diatas rata rata.
c. Memiliki lahan di wilayah perkotaan, semata mata
untuk investasi jangka panjang dan
mempercayakan masyarakat sekitar untuk memanfaatkan
sebagai areal pertanian
terbatas, agar dapat mencukupi kebutuhan keluarganya dari
hasil panen yang bisa di
peroleh.
d. Memiliki tanah yang telah berdiri bangunan
rumah / gedunguntuk disewakan peminat
sebagai sarana perkantoran ataupun tempat
tinggal, sementara dibeberapa lokasi ada
yang dimanfaatkan pihak lain tanpa
diminta uang sewa.
FAKTA HUKUM II
(Bukti Verponding Indonesia)
Masa Kemerdekaan Republik Indonesia, Aset tanah
milik Njimas Entjeh tetap tidak mengalami perubahan dalam
pengelolaannya selama beberapa tahun kemudian mengingat sejak didirikan NV.
Bloomkring memang memanfaatkan managerial warga asli pribumi dari
kalangan berpendidikan Sekolah Rakyat (SR) sampaiPerguruan
Tinggi, sehingga hengkangnya Belanda maupun Jepang dari Ibu Pertiwi tidak
memerlukan perubahan management apapun karena segala kebijakan sepenuhnya
memiliki ‘roh’ Keindonesiaanyang melekat terhadap kepribadian Njimas
Entjeh, apalagi sejak awal tahun 1940 pemegang hak warisnya H.
Arifin yang juga sebagaianak satu satunya (anak angkat.
lihat Kronologis Hak Waris Harta Peninggalan Njimas Entjeh, red)
telah mengendalikan management sepenuhnya dengan kelekatan nuansa
Nasionalismeyang dimilikinya.
Adanya ketentuan tentang pembayaran pajak
hasil bumi(Verponding Indonesia) bagi pemilik lahan, sejak tahun
1948 Pewaris Harta Peninggalan Njimas Entjeh yang saat itu
sudah diserahkan dan dikendalikan oleh anaknya bernama H. Zainal Asikin
bin H. Arifin, senantiasa memenuhi Peraturan
tersebut, betapapun pada awal diberlakukannya, secara umum para pemilik Aset
Tanah belum terbina kesadarannya dalam membayar pajakyang
menjadi Pilar Sumber Pendapatan Negara dalam
membiayai jalannya roda Pemerintahan.
Sedemikian pentingnya penerimaan dari unsur fiskal
ini bagi Negara yang sama sekali belum memiliki ‘fundamental’ ekonomi,
mendorongjiwa Nasionalisme sejati seorang H. Zainal
Asikin dalam usahanya mencari dana dari hasil pinjaman
beberapa pihak dalam rangka membayar kewajiban kepada Negara untuk
seluruh Aset tanah yang dimiliki. Perlu diketahui
upaya mendapatkan keuangan tersebut diperoleh sebagian besar dari kredit
Perbankan maupunPerseorangan / Pengijon dengan beban
bunga yang cukup besar, hal itu dilakukan sepanjang tahun hingga
diberlakukannya UUPA tahun 1960. Walaupun di banyak objek lahan yangmemanfaatkan
secara ekonomis adalah masyarakat sekitar(tanpa
dipungut uang sewa sepersen pun, betapapun sangat memungkinkan untuk
itu), sebagai buah perwujudan sikap sosialyang melekat kepada
segenap keturunan Njimas Entjeh.
Perjuangan (dengan segala jerih
payahnya) dalammembayar pajak hasil bumi ini
menjadi kesatuan sikap patriotisme kebangsaan terhadap situasi
keuangan Negara yangsangat memprihatinkan, hal tersebut didukung belum kondusifnya
situasi keamanan nasional, akibat dunia perpolitikan yang penuh
pergolakan sebagai pencerminan kekuatan kepentingan antar golongan dan faksi
faksi penuh friksi di dalam masyarakat yang masih mencari bentuk di Negara yang
baru terbebas dari belenggu penjajah. Namun sedemikian sulitnya dalam
mendapatkan sumber keuangan untuk memenuhi iuran pajak, H. Zainal
Asikin dapat melunasinya tepat waktu sesuai Ketentuan, hal ini
dilakukan agartetap mendapatkan ‘status’ Hak Kepemilikannya
(struk bukti pembayaran masih tersimpan lengkap).
Atas kedisiplinannya sebagai penyumbang
pendapatan Negara dari unsur pajak
yang cukup besar dan sangat
berarti ini, H. Zainal Asikin
pernah mendapatkan pujian dari
petinggi negara saat itu.
-5-
Struk bukti pembayaran pajak hasil bumi yang
dibayarkan sebelum berlakunya UUPA merupakan bentuk Verponding Indonesia dan
dinyatakan memenuhi persyaratan sebagai dasar
memperolehSertifikat Hak Milik (SHM) sesuai Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 maupun penggantinya Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, tercermin pada Pasal
24 Ayat 1:
Pembuktian hak hak atas tanah yang sudah
ada dan berasal dari konversi hak hak lama, data yuridisnya
dibuktikan dengan alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti
tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan ybs. yang kadar kebenarannya
oleh panitia Ajudikasi / kepala kantor pertanahan dianggap cukup sebagai
dasar mendaftar hak, pemegang hak dan hak hak pihak lain yang membebaninya.
Sementara penjelasan tentang alat
bukti tertulis yang dimaksud dalam Pasal
24 Ayat 1 adalah:
k. Petuk pajak bumi / Landrente,
girik, pipil, kikitir dan verponding Indonesia, sebelum
berlakunya PP 10 / 1961 ( ket:
seharusnya sebelum berlakunya UUPA, karena sejak
berlakunya UUPA tidak dipungut lagi pajak hasil
bumi)
FAKTA HUKUM III
(Pembelian Kedua)
Seusainya pemulihan kedaulatan Republik Indonesia
akhir tahun 1948, munculah keinginan untuk menghilangkan nuansa
kolonial dalam berbagai bidang, tanpa kecuali di bidang pertanahan, salah
satunya adalah Hak Eigendom yang luasnya lebih dari 10 Ha(kelompok tanah
partikelir), untuk dibeli lagi oleh Negara sesuai
dengan anggaran yang tersedia, namun banyak menghadapi pertentangan dari
pemilik tanah partikelir dalam soal harga yang ditetapkan Pemerintah karena
dirasakan belum sesuai dengan jumlah pengorbanan yang telah
dikeluarkan saat pembelian era Pemerintahan Hindia Belanda, betapapun demikian
banyak yang merespon ketentuan tersebut karena dirasa sudah cukup
mewadahi.. Agar kebijakan tersebut mendapat pijakan hukum yang kuatdisertai
perlunya penekanan kepada pemilik tanah partikelir, perlu didukung
dengan Peraturan yang lebih mengikat, maka lahirlahUndang Undang
Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Partikelir (tanah
Eigendom yang luasnya lebih dari 10 bau), dalam Pasal 8 Ayat 1 disebutkan:
Kepada pemilik tanah partikelir yang
dimaksudkan dalam Pasal 3diberikan ganti kerugian yang dapat berupa:
a. Sejumlah uang,
berdasarkan perhitungan harga hasil kotor setahun, rata - rata
selama
lima tahun terkhir sebelum 1942, dikurangi
40 % sebagai biaya usaha, kemudian
dikalikan angka 8,5
Perhitungan ganti rugi tersebut akan lebih
mudah dipahami tentang besarnya nilai imbalan per
hektar sawah, bila mengambil patokan kondisi sekarang ini yaitu:
Harga gabah Rp 3.000 (Nilai terendah/kg),
panen 1 hektar 4.000 kg (rata rata), dalam setahun panen 2 kali,
maka menghasilkan angka sbb:
3.000 X 4.000 X 2 X 60
% (100 % - 40 %) X 8,5 = Rp 122.400.000 / Ha.
H. Zainal Asikin selaku Ahli
Waris Harta Peningggalan Njimas Entjeh, sesungguhnya begitu antusias untuk
mendapatkan ganti rugi / imbalan sesuai dengan perhitungan tersebut, hal
ini dirasakan sangat wajar mengingat kondisi saat itu nilai yang diberikan oleh
Negara memang sudah cukup layak, oleh karena itu upayapun dilakukan dengan
mengurus kepada Instansi terkait dengan membawa segala berkas Bukti Kepemilikan
yang ada. Namun ternyata (mendapat jawaban) kondisi keuangan Negara sama
sekali tidak memungkinkan merealisasikan harapan tersebut.
Gambaran yang lebih faktual dapat diutarakan sbb,
bahwa sejak awal tahun 1949 sampai dengan akhir 1956, dalam situasi Sumber
Pendapatan Negara yang terbatas, Pemerintah telah melakukan pembelian tanah
partikelir tidak kurang dari 11.759 Ha.Apabila menggunakan patokan hasil
kalkulasi diatas dapat diperoleh angka: (Cttn: patokan harga sebelum berlakunya
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1958 sedikit dibawahnya).
-6-
Rp 122.400.000 X 11.759 = Rp
143.930.160.000.000,-
(hampir 144 trilyun rupiah).
Atau sedikit diatas ratio 12 % dari jumlah RAPBN
tahun 2008-2009 dan akan menjadi tandas lagi bila diperbandingkan
dengan upaya Pemerintah sekarang dalam pemberian penanganan ganti rugi
kepada korban bencana lumpur Lapindo-Sidoarjo yang hanya dibawah 0.1
% saja dari ratio tersebut, faktanya : begitu
berlarut larut bahkan sangat ‘kedodoran’ dalam
alokasi Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara, walaupun Sumber Pembiayaan
sudah didukung Bantuan Luar Negeri.
Dengan alasan tersebut kiranya dapat diestimasikan,
sejauh mana kemampuan
Keuangan Negara dalam memenuhi ketentuan Undang
Undang Nomor 1 Tahun 1958, dimana Pemerintah hendak membeli tanah partikelir seluas 28.923
Ha (di Jawa) dan
2.500 Ha (di Sulawesi) dalam waktu lima
tahun, akankan mampu dicapai target tersebut ?
Secara matematis atau logika /
otak sehat, dapat dijawab dengan mudah :
M u s t a h i l
Dan itulah realitanya.
Sejarahpun mencatat belum setahun Peraturan
tersebut berjalan (akhir 1958), populeritas Ir. Soekarno berada pada posisi anti
klimaks, karena anjloknya kewibawaan Pemerintah oleh krisis
keuangan yang sangat parah (‘agregat’ kelesuan ekonomi
memang sangat terasa dipertengahan tahun), akibat konsentrasi keuangan untuk
pembelian tanah partikelir sejak tahun 1949, ceritanya akan menjadi lain
apabila Pemerintahan Ir. Soekarno memanfaatkan dana tersebut untuk Pembangunan
Ekonomi terutama dalam meningkatkan sarana produksi Pertanian dan Menumbuh
Kembangkan Dunia Usaha melalui alokasi kredit usaha kecil hingga besar,
sebagaimana yang dilakukan Regiem Soeharto. Bahkan kami mencernai adanya
korelasi linier (membuat bom waktu) yang
dapat terbaca dari bunyi Pasal 8 Ayat 3 : Pembayaran ganti
kerugian tersebut pada Ayat 1 sub a Pasal ini dapat dilakukan secara berangsur,paling
lama lima tahun dan dalam hal ini kepada pemilik diberikan
bunga menurut Undang Undang.
Terhitung persis 5 tahun sejak lahirnya Undang
Undang Nomor 1 Tahun 1958, yaitu tepat pada tahun 1963
situasi ekonomi ‘rontok’, nilai rupiah terhempas pada posisi terparah,
devaluasi dilakukan berulangkali tanpa dapat menyelamatkan nilai rupiah,
inflasi melambung secara ‘fantastis’ menembus level 670, kebijakan fiskal yang
exploitatif tanpa menuai hasil apapun, kecuali semakin terpuruknya rupiah,
alhasil Nama besar Soekarno seakan ‘terkubur’ bersamaan runtuhnya perekonomian
Nasional.
Ketidak berdayaan Keuangan Negara dalam memenuhi
target Undang Undang Nomor 1 Tahun 1958, menjadi alasan pragmatis (solusi)
Pemerintah untuk membuka kesempatan kepada pemilik tanah
partikelir supaya memberikan kompensasi kepada Negaraberupa Kikitir
Padjeg Boemi (Jakarta, Jawa Barat) Petuk / Petok/ Pethok
Padjeg Boemi (Jawa Tengah, Jawa Timur) dan Grant(Sumatera,
Sulawesi) sebagai syarat utama untuk tetap disyahkan Haknya atas
Aset tanah yang dimilikinya. Inilah latar belakang (fakta hukum) tentang
penerbitan Kikitir / Petok Padjeg Boemi dan Grantterhadap
Aset tanah yang lebih dari 10 bau ( tanah partikelir ).
Pertanyaan yang perlu di ketengahkan
disini, namun akan kami jawab kemudian, adalah:
“ Relevankah alasan hukumnya, apabila tanah
partikelir yang telah dibayar
(sebagai pembelian) dalam bentuk kompensasi
(konversi) kepada Negara oleh pemiliknya,
masih di ‘klaim’ sebagai Tanah Negara ?
Marilah kita urai dari fakta hukum tersebut
diatas, agar penyelenggara Negara / siapapun yang berasumsi demikian, jangan
sampai dianugrahi oleh anak cucu kita dengan menyematkan
Bintang (Maha Karya): ‘P e n g e c u t t
e r h a d a p B a n g s a n y a s e n d i r i’
(dan akan dicatat dalam Buku Sejarah Nasional
Indonesia)
Dengan kondisi, sikap / kemauan Pemerintah
saat itu H. Zainal Asikinmengubur segala keinginan untuk memperoleh
ganti rugi / imbalandari Negara yang cukup besar (dari hasil penjualan tanahnya
),bahkan sebaliknya harus berusaha dalam mendapatkan
danayang
-7-
dibutuhkan guna membayar kompensasi kepada
Negara ( Pembelian kedua ), atas segala upaya keras yang
dilakukan dari berbagai sumber (pinjaman), akhirnya terhimpun dalam
jumlah cukup guna membayar Kikitir / Petok Padjeg
Boemi dan Grantterhadap semua Aset yang dimiliki, pada
tahun 1958 dan 1959, tepatsesuai kesepakatan dengan Pemerintah (seluruh
bukti masih tersimpan dengan baik). Atas dasar pembayaran tersebut maka sejak
saat itu juga dinyatakan syah sebagai Hak Milik Adat yang
selanjutnya menjadi inspirator / pijakan pembuatan Hukum Tanah
Nasional (HTN) di Indonesia.
Kikitir / Petok
Padjeg Boemi dan Grant adalah alat bukti kepemilikan
(Hak Adat),
yang memenuhi semua standar persyaratan untuk
ditingkatkan menjadi
Sertifikat Hak Milik (SHM)
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1961maupun penggantinya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 24
Ayat 1
(yang isinya sebagaimana diterangkan diatas / Fakta
Hukum II)
PENGESAHAN HAK MILIK
(Ketentuan U U P A)
Diiringi situasi krisis ekonomi yang semakin
mengerucut, upaya Pemerintah dalam melakukan Reformasi Peraturan Perundangan
yang berpijak dengan aspek pertanahan murni keindonesiaan setelah diawali
Pemberlakuan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1958, mengalami proses yang cukup
alot di Parlemen (DPR Gotong Royong), tidak lain adanya silang pendapat
demikian ‘deras’ atas materi bersifat rujukan dari
khasanah Ketentuan lama (KUUHPdt) dengan kerangka acuan
yang bersumbu pada Hukum Adat.
Topik sentral dalam mengangkat keberadaan Hukum
adat inilah yang kemudian menjadi ‘jiwa dan Roh’ kesepahaman
pembuatan Peraturan yang baru. Akhirnya pada tanggal 24 September 1960disyahkanlah Undang
Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau lebih dikenal dengan Undang Undang
Pokok Pertanahan ( U U P A ), yang merupakan produk
Peraturan Pertanahan yang monumenal dan menjadi ‘kiblat’
semua Peraturan Agraria di Indonesia hingga saat ini.
Materi yang begitu elementer terhadap
Hak Kepemilikan kami adalah yang terdapat pada Ketentuan Ketentuan
Konversi U U P A Ayat 1:
Hak Eigendom atas
tanah yang ada mulai berlakunya Undang Undang ini
sejak saat tersebut menjadi Hak
Milik.
Sehingga melalui U U P A ini Bukti
Kepemilikan Njimas Entjeh telah menjadi 3 (tiga) pilar/ lapis sekaligus,
yakni : Eigendom(Pembelian Pertama), Verponding Indonesia dan Bukti
Kompensasi kepada Negara (konversi)berupa Kikitir / Petok
Padjeg Boemi dan Grant Sultan
(Pembelian Kedua) yang masing
masing dapat dijadikan dasar pembuatan
Sertifikat Hak Milik ( S
H M ).
Keberadaan U U P A sebagai
Peraturan Pertanahan memiliki dimensitransendental terhadap seluruh
aspek Pertanahan Indonesia sehingga pada usianya yang hampir setengah
abad tetap relevansebagai pijakan hukum, walaupun terdapat
nuansa untuk dilakukanreformasi, namun tidak akan merubah sendi
pokoknya yang memangterdapat kelekatan terhadap
Kultur Asli Ke’sejarah’an Indonesia.Adapun keinginan untuk mengganti / me’reduksi’ Peraturan
tersebut, sifatnya sekedar melengkapi dari Ketentuan yang dapat
menjawab perkembangan zaman. Artinya ‘kesahihan’ Hak Kepemilikan
kami akan tetap mencengkeram terhadap Ketentuan Perundangan
Indonesia hingga akhir zaman nanti (dengan catatan tidak hadir
lagi ‘hegemony’ asing / Kolonial di Bumi Persada Indonesia).
Selain itu Reformasi terhadap U U P A menurut
hemat kami adalah sebagai upaya lebih menjernihkan segala permasalahan yang
berkembang belakangan ini, yang diakibatkan adanya begitu banyaknya
Peraturan Pertanahan yang tidak seluruhnya ber’senergi’ bahkan
adanya tumpang tindih nilai yang dibawa (terkesan adanya warna
kepentingan untuk kelompok tertentu yang dekat dengan penguasa pada
zamannya red) sehingga menimbulkanproduk kebijakan yang ‘rancu’.
-8-
Sementara itu Perlakuan Hak Milik atas tanah yang ‘berafiliasi’(‘integralistik’) langsung dengan
pemegang Haknya sebagai ‘unifikasi’ yang tidak terpisahkan atas sifatnya
sebagai Hak individu, pada materi U U P A Pasal 20 mendapat
tempat yang demikian terhormat yakni adanya Ketentuan bahwa
Hak Milik dinyatakan berkekuatan ‘turun temurun’ sebagai pembeda
dengan hak lainnya (HPL, HGU,HGB dll), demikian halnya dengan unsur
dapat ‘diwariskan’ adalah kesatuan atas jiwa kemanusiaan yang
bersifat berketurunan.
Disinilah terdapat ‘entitas’ sekaligus hubungan
kesenyawaandemikian mendalam sebagai pernyataan bahwa Hak Milik
berkedudukan terkuat dan terpadu yang
dapat dipunyai orang atas tanah. Dengan coraknya ini Hak Milik mendapat
perlindungan hukum sangat kuat dalam U U P A.
Pedoman yang ikut memperkuat hak kepemilikan kamipun
mendapat penegasan pada Pasal 24 Penggunaan tanah milik oleh bukan
pemiliknya dibatasi dan diatur
dengan Peraturan Perundangan.
Ketentuan ini selaras dengan besarnya
pengorbanan dalam memperoleh status Hak Milik atas tanah, disamping
itu adanya peletakan dasar sebagai hubungan hukum konkrit yang
melekat terhadap sifat ‘Hak’ itu sendiri dan ‘Milik’
dengan unsur ‘terkuat’ nya. Alhasil Hak Milik perseorangan yang telah
dinyatakan ‘syah’ sesuai bunyi Undang Undang: ‘Penggunaan oleh
bukan pemiliknya ‘dibatasi’ dan ‘diatur’ dengan
Peraturan. Oleh karena itu siapapun yang hendakmemanfaatkan, menguasai ataupun menerbitkan
hak lain diatas tanah milik adalah perbuatan melawan hukum,
apabila tidak seijin pemiliknya.
Sisi inilah yang seharusnya digaris bawahi dalam merunut (mengupas
tuntas) timbulnya sengketa tanah yang bersifat ‘kasuistik’
saat ini, sebagai akibat ‘pendangkalan’ tersistematis terhadap
materi Perundang Undangan demi mewujudkan lahirnya produk kebijakanatas
dasar
‘materi’ (fulus / suap / uang)
agar supremasi hukum di Indonesia tidak sekedar ‘retorika’ politik
Penguasa, sebagai bentuk mengelabuhi rakyat yang haknya telah ‘diambil alih’
(bahasa diperhalusnya: Dijarah)
KASUS HUKUM
(Perampasan Hak Milik)
Tahun 1966 merupakan kejatuhan Ir. Soekarno dalam
seluruh tampuk Pemerintahan yang ditandai ‘morat maritnya’ Perekonomian
Nasional, namun telah mewarisi produk Peraturan Pertanahan yang sangat ‘prestisius’
berupa U U P A dan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1958 betapapun
tidak dapat dilaksanakan sepenuhnyaakibat situasi moneter yang amat sulit
dalam mencapainya. Dalam pada itu Pergantian Kepemimpinan Nasional
juga ditandai babakan baru berkenaan dengan perilaku birokrasi dari strata
terbawah hingga tertinggi yang sepenuhnya dikendalikan oleh koloni
baru bernama ‘uang’. Inilah tonggak sejarah diawalinya carut
marut di dunia pertanahan Indonesia yang ‘krusial’ dan
menerobos hinggakekelaman dimensi kemanusiaan.
Berhembusnya Kasus Pertanahan diilhami oleh
birokrasi yang diisi pejabat militer dan pola militerisme yang
berkonotasi otoriter, sehingga melahirkan produk kebijakan yang tidak
mengakar kepada aspek keadilan masyarakat bahkan sebaliknya hak hak
rakyatlah terangkat untuk dijadikan objek ‘bisnis’
yang menggiurkan untuk ditawarkan kaum ‘berkantong tebal’ (pengusaha)
atau hubungan kerabat dan keluarga penguasa.
Lahirnya Hak lain diatas tanah Hak Milik (sertifikat
ganda) menjadi fenomena pada masa Pemerintahan Regiem Soeharto, tanpa
kecuali terhadap Aset tanah milik Njimas Entjeh, dengan melalui
perjuangan yang luar biasa dalam memperoleh Hak Kepemilikan sebagaimana yang
telah diterangkan diatas, dimentahkan oleh konspirasi
jahat(sindikat) oknum pejabat dengan ‘mafia
tanah’ untuk mempermainkan / mengaduk aduk Undang Undang.
Munculah Hak lain mulai dari Girik, Hak
Pakai Lahan, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan bahkan Hak
Milik yang terbit diatas Aset tanah Milik kami, ironisnya sebagian
besar dinyatakan sebagai Milik Negara , sebagian lainnya
adanya realita penggarap yang telah
-9-
dipercayai memanfaatkan
tanah sebagai lahan pertanian untuk kesejahteraan keluarganya (sebagai motif
sosial dari kami),melihat peluang pada sistem birokrasi
yang mudah diterobos atas dasar ‘fulus’, hal ini
berimbas pada ‘matinya’ hati nurani dalam produk kebijakan
yang mengebiri Hak Kepemilikan Kami yang telahdinyatakan
‘sahih’ menurut Undang Undang / fakta hukum danfakta
sejarah. Pada era tersebut upaya kami dalam mempertahankan Haknya telah
diperjuangkan semaksimal mungkin sesuai koridor hukum yang berlaku,
demikian halnya korban korban lainnya, akan tetapi senantiasa berhadapan dengan
kekuatan oknum pejabat yang menggunakan ‘gaya kemiliteran’nya demi
meredam usaha kerasdalam pengembalian hak kami, bahkan intimidasipun menjadi
hal yang ‘kerap’ kami alami.
Inilah tragedi kemanusiaan yang
siapapun tidak ingin mengimpikannya apalagi mengalaminya namun realita ini
menerpa kami dan serentetan korban pada warga negara
yang jumlahnya beribu-ribu lainnya
Kepemimpinan Soekarno telah meninggalkan
warisan Undang Undang Pertanahan
begitu berharga bagi
Bangsa dan Negara Indonesia,
sementara Pemerintahan Soeharto yang
hengkang oleh rakyatnya sendiri
mewarisi produk kebijakan yang ‘mengharu biru’kan
bumi hukum pertanahan
dan meninggalkan beribu ribu kasus tanah bagi
Bangsanya,
lantas warisan apa yang kiranya akan
diberikan oleh
Pemerintahan sekarang untuk
Bangsa yang menanti keadilan ini ?
(Marilah kita ikut mengingatkannya sebagai Rakyat
yang telah memilihnya)
Sebelum mengangkat kasus pertanahan tersebut untuk
membahas pemecahan hukum, akan lebih baik kami mengutarakan terlebih dahulu Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2006, tentang “Sebelas Agenda
Kegiatan” :
Point 1. Membangun kepercayaan
masyarakat pada B P N
Point 3. Memastikan Penguatan hak hak
rakyat atas tanah
Point 5. Menangani dan menyelesaikan
perkara, masalah, sengketa dan konflik pertanahan di
seluruh Indonesiasecara sistematis
Point 9. Melaksanakan secara konsisten semua
Peraturan Perundang Undangan Pertanahan yang telah ditetapkan.
Demikian ‘indah’ bunyi Ketentuan yang dibuat
oleh pemegang otoritas pertanahan Indonesia, namun apakah pelaksanaannyaseindah
isi materi ‘maklumat’ tersebut?
Sudah 2 (dua) tahun di’canangkan’ Peraturan
ini, akan tetapi secara ‘kasat mata’ baru sebatas ‘pernyataan’,
jauh dari harapan kita semua.
Sesuai hukum tata negara dinyatakan
bahwa segala produk kebijakan Pemerintah bersifat kemanusian menjadi tanggung
jawab moral Pemerintahan sesudahnya, sehingga dalam menangani kasus
pertanahan menjadi keharusan mendudukan persoalan sesuai
norma hukum yang melekat kepada pemilik awal sesuai
kadarprikemanusiaan dan prikeadilan.
Dalam keterkaitannya terhadap membangun
kepercayaan masyarakat kepada Pemerintah yang terpenting adalah
mewujudkan‘Clean Goverment’, dengan membentuk ‘kemauan politik’
yang kuat, sekuat tekad pendiri Bangsa ini dalam melawan
kolonialisme. Inilah yang semestinya dikedepankan Pemerintah sekarang,
karena ‘tersingkirnya Soeharto’ harus diikuti dengan menyingkirkan ‘budaya
korupsi’ yang begitu lekat pada pola Pemerintahannya, itulah tuntutan
rakyat. Masih segar diingatan kita tentang predikat sebagai Negara dalam
kelompok nomor ‘wahid’ter’korup’ di dunia, suatu
gelar yang sangat ‘memalukan’sebagai wujud melawan
arus dan melukai hati pendiri bangsa. Pertanyaannya adalah : “Akankah
kita mentorerir atau mendiamkan kenyataan sebagai Negara dengan Pemerintahan
ter’korup’ sedunia ini ?
PEMECAHAN KASUS HUKUM
(Berdasarkan Hukum Tanah Nasional)
Berangkat dari timbulnya kasus pertanahan yang lahir
diluar prosedur hukum yang berlaku sebagaimana dijelaskan diatas, maka
perlu kita kupas melalui kaidah Hukum
Tanah Nasional
-10-
yang memiliki asas demikian tegas dalam
menentukan kepada siapapun termasuk Penguasa/ Pemerintah apabila memerlukan
tanah untuk kepentingan individu , perusahaan
swastaataupun kepentingan umum / Negara harus
berpijak pada:
A. Penguasaan dan Penggunaan tanah oleh
siapapun dan untuk keperluan apapun harus dilandasi hak
atas tanah yang disediakan oleh Hukum Tanah Nasional
B. Penguasaan dan Penggunaan tanah tanpa
ada landasan haknya(ilegal) tidak dibenarkan,
bahkan diancam dengan sanksi pidana (Undang Undang No 51 Prp
1960)
C. Penguasaan dan Penggunaan tanah berlandaskan
hak yang disediakan oleh Hukum Tanah Nasional, dilindungi
hukum terhadap gangguan dari Pihak manapun baik oleh sesama
anggota masyarakat maupun oleh Pemerintah sekalipun.
D. Dalam keadaan biasa, diperlukan
oleh siapapun dan untuk keperluan apapun termasuk kepentingan
umum, perolehan tanah yang sudah di’hak’i seseorang, harus melaluimusyawarah untuk mencapai mufakat,
baik mengenaipenyerahan tanahnya kepada pihak yang memerlukan,
maupun mengenai ‘imbalannya’ yang merupakan hak daripemegang
hak atas tanah ybs. untuk menerimanya.
E. Dalam keadaan biasa, untuk memperoleh
tanah yang diperlukantidak dibenarkan adanya paksaan dalam
bentuk apapun danoleh siapapun kepada pemegang haknya
untuk menyerahkan tanah kepunyaannya dan/atau menerima imbalan yang tidak
disetujuinya, karena pemegang hak bagaimanapun berhakuntuk
menolaknya.
F. Dalam keadaan yang memaksa, yaitu
jika bidang tanah yang bersangkutan diperlukan untuk kepentingan umum dan
tidak mungkin digunakan bidang tanah yang lain, sedang muyawarah tidak
berhasil mencapai kesepakatan, dapat dilakukan pengambilan bidang tanah
yang bersangkutan, secara paksa(sesuai Undang Undang No. 20
tahun 1961 TentangPencabutan Hak atas tanah dan Benda Benda lain yang
ada diatasnya)
G. Dalam perolehan atau pengambilan
tanah, baik atas dasarkesepakatan bersama maupun melalui pencabutan
hak, pemegang hak ybs. berhak atas imbalan, bukan hanya
meliputitanah-bangunan dan tanaman milik pemegang
hak atas tanahnya. Melainkan juga kerugian yang dideritanyasebagai akibat
penyerahan bidang tanahnya ybs.
H. Betapapun untuk kepentingan umum,
pihak yang mempunyai tanah tidak dapat menolak pengambilannya,
karena dalam hidup bermasyarakat kepentingan umum harus
didahulukan, namun mengenai bentuk dan jumlah imbalan yang
ditetapkan oleh Pemerintah, pemilik hak masih diberi kesempatan untukmengajukan
banding ke Pengadilan Tinggi yang keputusannya mengikat semua
pihak ybs.
I. Bentuk dan jumlah
imbalan jika tanahnya diperlukan untuk kepentingan umum dan
melalui pencabutan hak haruslah sedemikian rupa, hingga bekas
pemegang hak tidak mengalamikemunduran, baik dalam bidang
sosial maupun ekonominya.
Berdasarkan ketentuan Hukum Tanah Nasional tersebut,
dalammengurai kasus tanah yang terjadi dalam wilayah Hukum
Indonesia sesungguhnya tidaklah terlalu sulit (tergantung
bagaimanakesucian hati kita dalam menyelesaikan kasus), mengingat Bukti
Hukum yang telah mengikat terhadap Pemilik awal / aslinya itulah yang
‘harus’ menjadi dasar / acuan untuk dibela dan dimenangkandalam
menyelesaikan masalah yang ada, sesuai ‘hakekat kebenaran hukum’ yang tidak
dapat diganggu gugat oleh siapapuntermasuk Penguasa /
Pemerintah atas dasar apapun. Mengingat dalam proses pengalihan hak, pemegang
hak (kami) belum pernah mendapatkan imbalan dalam bentuk
apapun. Bahkan lebih dari itu, sesuai Peraturan Hukum yang berlaku: menggunakan
dan menguasai tanah bukan miliknya adalah bentuk pelanggaran pidana,
hal inipunmengikat kepada oknum pejabat yang terlibat karenamenerbitkan
hak baru diatas tanah milik orang lain yang telah dinyatakan syah
secara hukum.
Demikian halnya dengan fenomena munculnya hak lain
diatas Aset tanah milik Njimas Entjeh yang terbit
tanpa menyertakan posisi kami sebagai pemilik ‘syah’nya.
Segaris dengan ketentuan Hukum Tanah Nasional, kami hendak melakukan upaya
hukum semestinya sesuai Undang Undang yang berlaku, agar Hak yang
telah diperjuangkan oleh Njimas Entjeh (dan keturunannya
termasuk M. Fatkhi Esmarsebagai Ahli Waris terakhirnya, sesuai
Ketetapan Pengadilan)dapat dikembalikan sepenuhnya kepada kami.
Untuk keperluan itudibentuklah Njimas Entjeh Foundation yang
merupakan Wadahdalam memperjuangkan semua Hak yang kini ‘dijarah’
pihak lain, tanpa mengindahkan aturan normatif dan ketentuan
hukum Indonesia.
-11-
Berangkat dari fakta hukum, pengesahan
hak milik, kasus hukum dan Ketentuan Undang Undang,
maka dapat kita tarik benang merahnya secara tegas dan tandas,
sbb:
Munculnya kerancuan hak kepemilikan yang terjadi
sekarang ini, dari Hak Milik Njimas Entjeh atas Aset Tanah yang
telah dinyatakan syahsecara hukum
(Ketentuan Ketentuan Konversi UUPA Ayat 1, Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1961 dan Penggantinya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun
1997)
sepenuhnya berasal dari kesalahan tafsir /
salah kaprah yang disengaja atau tidak
oleh oknum pejabat saat itu terhadap kandungan
materi hukum
sebagai upaya dalam mempersempit dari maksud
besar dibuatnya Undang Undang
(UU No. 1 Tahun 1958)
perbuatan ini dilakukan untuk memperoleh
keuntungan pribadi oknum pelaku yang berkonotasi ‘suap’ dari
pihak lain yang memungkinkan ‘praktek memanipulasi’
Undang Undang demi melahirkan hak lain dan
menghilangkan hak milik orang lain
( Njimas Entjeh )
(Pelanggaran KUUHP)
adanya usaha memperlakukan hak milik warga
masyarakat menjadi
Tanah Negara adalah berlawanan dengan
fakta hukum dan fakta sejarah,
mengingat :
1. Struk bukti pembayaran padjeg boemi sebelum
berlakunya U U P A
(Verponding Indonesia),
2. Hak Eigendom milik WNI pribumi yang telah
di’konversi’ dalam bentuk Kikitir/Petok padjeg boemi dan Grant Sultan
(sebagai kompensasi / pembelian kepada Negara)
adalah alat bukti konversi yang ‘syah’ sebagai
Hak Milik Adat
yang semuanya memenuhi segala persyaratan untuk
penerbitan
Sertifikat Hak Milik
(Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 dan
penggantinya
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997)
Dengan berpijak pada ke’sahih’an bukti kepemilikan
dimaksud, dan atas dasar kekuatan hukum yang melekat terhadap pemiliknya,
(Ketentuan Ketentuan Konversi UUPA Ayat 1, UUPA
Pasal 20 dan 24)
selanjutnya muncul hak-hak lain dengan tanpa melalui
mekanisme prosedur hukum semestinya,
dalam bentuk pemberian ganti untung / imbalan kepada
pemilik ‘syah’nya
maka hak yang timbul kemudian adalah ‘c a c a t h u
k u m’ ( i l e g a l )
(Hukum Tanah Nasional)
maka h a r u s b a t a l d e m i h u k u m.
Hal ini sebagai konsekuensi logis atas segala
pelanggaran Peraturan yang berlaku sekaligus bentuk perlindungan hukum terhadap
hak kepemilikan
yang merupakan Hak Azasi manusia
(Amandemen UUD 1945 Pasal 28 H Ayat 4)
dimana hak pribadi dan hak Milik tidak dapat
diganggu gugat
oleh siapapun secara sewenang wenang
(Undang Undang No 39 Tahun 1999)
Berdasarkan hukum positif yang kita anut,
barang siapa yang bersalah harus dihukum
sesuai dengan Ketentuan Undang Undang
(Undang Undang No 51 Prp Tahun 1960 dan KUUHP)
karena akibat kesalahannya, Pihak lain (Njimas
Entjeh) dirugikan.
Dan atas nama hukum yang berkeadilan,
Aset Tanah harus dikembalikan
kepada pemilik aslinya
(Njimas Entjeh)
Ketentuan ini bersifat mengikat semua pihak
-12-
Demi mewujudkan ‘supremasi hukum’ di
Indonesia maka kepada Pemerintah Republik Indonesia dan semua
komunitas pertanahan ‘harus’ taat asas dan taat
terhadap segala ketentuan hukum yang berlaku, dan oleh karena itu semua
pihak ‘wajib’ menghormati hak milik yang telah
melekat kepada pemilik awal / aslinya. Dengan dasar adanya
kerancuan hak yang timbul kemudian sifatnya ‘ilegal’ atau ‘haram’,
sebagai umat beragama mengetahui, bentuk larangan yang sifatnya
‘haram’ adalah sinonim dengan ‘dosa’
dan bagi siapapun yang melakukan perbuatan ‘dosa’ harus
‘dihukum’ sesuai kadar kesalahannya.
Kembali ke nilai ‘sosial’ yang merupakan warisan
luhur dari Njimas Entjeh, kamipun berlapang
dada dalam mensikapi realitas permasalahan yang timbul akibat
‘kebejadan’ moral oknum dimaksud, sebagai bentuk kekilafan
manusia yang tidak luput dari perbuatan ‘dosa’, betapapun hukum
harus tetap ditegakan, kami sebagai umat Allah yang
menjunjung tinggi nilai nilai ajaran Agama, bersama ini bersedia untuk membuat Akta
Perdamaian yangsaling menguntungkan kepada Pihak yang
saat ini menguasai Aset tanah milik kami baik secara fisik maupun atas dasar hak
‘ilegal’ yang dimilikinya. Agar adanya kepastian hukum dan kemurnian
‘status’ hukum atas Aset dimaksud.
Dengan diringi Lagu Kebangsaan Maju
Tak Gentar:
Maju Tak Gentar, Membela yang Benar
Maju Tak Gentar, Hak Kita tak Diserang
Maju Serentak, Mengusir Penyerang
Maju Serentak, Tentu Kita Menang
Sebagai spirit dalam kebersatuan kita melakukan Aksi
Moral Kebangsaan
untuk terus maju tanpa mengenal menyerah membela
yang benar
Dengan menyebut Asma Allah sebagai Lambang Kebenaran
dan ucapan
Bismillah irohman nirrohim
Marilah kita benahi segala ‘kebobrokan
mental’ bangsa yang teramat parah ini
Demi Indonesiaku
Indonesia yang tahu jati dirinya, Indonesia yang
bermartabat dan berkeadilan sosial
Kami mengajak semua pihak
untuk meluruskan tugas sejarah yang terputus dari
‘roh kemanusiaan’
semua harus kita perjuangkan dan wujudkan
Demi Anak Cucu Kita, dan
Kemenangan Indonesiaku.
Demikian Dasar Hukum Kepemilikan Njimas
Entjeh Siti Aminah(Osah) disusun sebagai usaha dalam memperbaiki ‘kharakter
bangsa’ Indonesia, sekaligus bentuk ‘ajakan’ semua pihak yang
berkepentingan terhadap masalah pertanahan, agar melakukan ‘aksi moral
kebangsaan’ dalam menyelesaikan persoalan bangsa yang jauh
dari prikemanusiaan dan prikeadilan.
Terima kasih
Jakarta, 10 Oktober 2008
Hormat kami,
Njimas entjeh Foundation
Drs. Pungkas Indio Akt. SH
Legal Officer
Tembusan, Kepada Yth:
1. Ketua Dewan Penasehat dan Pembina Njimas Entjeh
Foundation
2. Ketua Umum Njimas Entjeh Foundation
3. Arsip