Kerajaan
Kendan dan Galuh- Sumber mengenai kerajaan ini diperoleh dari Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara. Bisa jadi cerita yang ada di pustaka tersebut
tak sepenuhnya benar terjadi. Namun juga, di dalamnya ada beberapa peristiwa
yang memang benar-benar terjadi. Pendiri Kendan bernama Resiguru Manikmaya,
berasal dari Jawa Timur. Aslinya ia berasal dari India Selatan. Ketika tiba di
Jawa Barat, Manikmaya menikah dengan Tirtakancana, puteri Suryawarman Raja
Tarumanagara. Setelah menikah, Manikmaya diberi daerah bernama Kendan, antara
Sumedang-Bandung. Di Kendan, Ia diangkat menjadi rajaresi dan
dibekali tentara. Oleh mertuanya, ia dinobatkan menjadi raja kecil, bawahan
Tarumanagara. Dari pernikahan itu, Manikmaya memperoleh keturunan. Salah satu
putera bernama Rajaputera Suraliman. Di usia 20, Suraliman diangkat
menjadi senopati Kendan. Tak lama, ia didaulat menjadi panglima balatentara (Baladika)
Tarumanagara. Manikmaya sendiri memerintah di Kendan selama 32 tahun, dari
536-568 M. Setelah Manikmaya wafat, Suraliman naik tahta. Pengangkatan
Suraliman berlangsung pada tanggal 12 bagian Gelap Bulan Asuji 490 Saka,
bertepatan dengan 5 Oktober 568 M. Kendan di bawah Suraliman terkenal tangguh
dalam hal berperang.
Raja Suraliman menikahi
puteri Raja Bakulapura dari Kutai, Dewi Mutyasari.
Pernikahan ini bertujuan menjalin persahabatan antar dua kerajaan. Dari
pernikahan ini, Suraliman anak bernama Kandiawan (laki-laki)
dan Kandiawati (perempuan). Kandiawan bergelar Rajaresi
Dewaraja Sang Layuwatang. Sedangkan, Kandiawati ikut bersama suaminya
seorang pedagang kaya dari Sumatera. Suraliman memerintah selama 29 tahun
(568-597 M). Ia digantikan puteranya, Kandiawan, yang ketika itu telah menjadi
raja di wilayah Medang Jati atau Medang Gana. Oleh karena itu, Kandiawan bergelar Rahiyangta
ri Medang Jati.
Setelah menjadi raja,
Kandiawan memindahkan pusat pemerintahan dari Kendan ke Medang Jati yang
diperkirakan daerah Cangkuang, Garut. Perkiraan ini didapat, karena Raja
Kandiawan merupakan pemeluk Hindu-Wisnu, dan di daerah Cangkuang ini terdapat
sebuah candi Hindu-Wisnu (Candi Cangkuang). Penemuan situs di Bojong Menje,
Cicalengka, boleh jadi berkaitan dengan Kendan. Para ahli memperkirakan situs
tersebut bercorak Hindu. Kandiawan berputerakan lima orang: Mangukuhan,Karungkalah, Katungmaralah, Sandang
Greba, dan Wretikandayun. Mereka masing-masing menguasai daerah
Kulikuli, Surawulan, Peles Awi (Paleswari), Rawung Langit, dan Menir. Bisa
jadi, kerajaan-kerajaan kecil bawahan Kendan ini terletak di antara
Bandung-Garut. Kandiawan memerintah selama 15 tahun, 597-612 M. Ia melanjutkan
hidupnya sebagai pertapa di Layuwatang, Kuningan. Ia menunjuk anak bungsunya,
Wretikandayun, untuk merajai Kendan. Ketika itu Wretikandayun merupakan
rajaresi di Menir. Ia mulai memerintah Kendan pada 23 Maret 612 M, pada usia 21
tahun.
Raja Wretikandayun
memindahkan ibu kota Kendan ke Galuh. Daerah ini diapit oleh dua sungai, yakni
Sungai Citanduy dan Cimuntur. Kata galuh berarti “permata”.
Kawasan Galuh ini berada di Desa Karang Kamulyan, Kecamatan Cijeungjing,
Ciamis. Wretikandayun beristrikan anak seorang pendeta Resi Makandria, Dewi
Manawati, yang menghasilkan tiga orang anak: Sempakwaja, Jantaka,
serta Amara. Pada saat Wretikandayun memerintah di Galuh, yang
berkuasa di Tarumanagara adalah Maharaja Kretawarman. Kendan (Galuh) saat itu
masih kerajaan bawahan Tarumanagara. Ketika di bawah Raja Tarusbawa, nama
Tarumanagara telah berubah menjadi Kerajaan Sunda. Dengan kondisi ini,
Wretikandayun yang pada saat itu berusia 78 tahun, beranggapan bahwa Galuh
harus memisahkan diri dari Tarumanagara.
Akhirnya, Wretikandayun
mengirim utusan ke Pakuan, ibu kota Kerajaan Sunda. Utusan ini mengirim surat
kepada Tarusbawa yang menyatakan bahwa Galuh hendak memisahkan diri dari Sunda,
menjadi kerajaan merdeka. Raja Tarusbawa tak keberatan. Ia lebih memilih
mengurus rakyat dan urusan dalam negeri daripada harus mempertahankan wilayah
yang ingin memerdekakan diri. Lalu, Kerajaan Galuh dan Sunda disatukan
oleh Sri Baduga, menjadi Kerajaan Pajajaran.
Sejarah
Jawa Barat mencatat Kendan telah eksis sejak tahun 536
sampai dengan 612 M. Kendan berubah nama menjadi Galuh (permata) ketika masa
Wretikandayun, penerus Kendan menyatakan diri melepaskan diri dari Tarumanagara
(Sundapura). Karena Terusbawa merubah Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda
(pura). Sejak tahun 670 M ditatar sunda dianggap ada dua kerajaan kembar, yakni
Sunda Pakuan dan Sunda Galuh.
Naman Kendan
seolah tenggelam dalam kebesaran nama Galuh, sangat jarang diketahui masyarakat
tentang wilayah dan kesejarahannya, kecuali beberapa masyarakat yang berminat
mendalami sejarah Sunda. Bagi sejarawan sunda eksistensi Kendan tidak dapat
dilepaskan dari Galuh. Kendan danggap cikal bakal Galuh. Bahkan sejarawan
Sumedang di Musium Prabu Geusan Oeloen membedakan Galuh Kendan dengan Galuh
Kawali.
Letak Kendan
Kendan didalam
catatan sejarah Jawa Barat diperkirakan terletak disuatu daerah diwilayah
Kabupaten Bandung, ditepi sebuah bukit (Kendan), + 500 meter sebelah timur stasiun kereta api
Nagreg. Terdapat daerah hunian yang bernama Kampung Kendan, Desa Citaman,
Kecamatan Cicalengka. Namun berdasarkan on the spot, letak Kendan berada di
sebelah barat stasiun nagreg dan termasuk Desa Nagreg.
Bukit Kendan yang
dimaksud sangat jauh untuk disebutkan memiliki jejak Sejarah, mengingat
perbukitan Kendan saat ini sudah hampir habis akibat tanahnya dieksploitasi
untuk bahan pembuatan bata merah.
Disekitar Nagreg
dan Citaman ditemukan pula suatu tempat yang disebut masyarakat sekitarnya
“tempat pamujaan”, Sayang istilah tempat pamujaan dalam paradigma masyarakat
sunda dewasa ini dikonotasikan negatif, karena sering digunakan “pamujaan”,
suatu cara meminta harta kekayaan kepada mahluk gaib, dan dianggap menyekutukan
Tuhan. Sama dengan istilah pesugihan.
Nama Kendan lebih
dikenal dalam dunia arkeologi, identik sebagai pusat industri perkakakas
neolitik pada jaman purbakala. Batu Kendan sudah lama disebut-sebut dalam dunia
kepurbakalaan. Disinyalir daerah Kendan sudah ramai dihuni penduduk sejak
sebelum tarikh masehi.
Pasir batu bukit Kendan sampai saat ini masih
di eksploitasi penduduk setempat, karena mengandung bahan perekat yang sangat
cocok untuk pembuatan gerabah. Haji Atang pemilik bukit itu sekarang,
memanfaatkan bukit kendan untuk dijadikan bahan campuran bata merah. Konon kabar
menurut cerita Pak Anang, keponakan Haji Atang, pada waktu jaman belanda
kakeknya mengeksploitasi tanah Kendan untuk dikirim ke Belanda dari stasiun
Nagreg melalui Pelabuhan Surabaya, bahkan pembangunan gedung sate dan gedung
lainnya di kota Bandung disinyalir menggunakan bahan dari bukit Kendan. Mungkin
keberadaan setasiun Nagreg pada awalnya tidak dapat dilepaskan dari Daerah
Kendan. Stasiun ini merupakan saksi bisu dari diangkutnya material Kendan
kedaerah lain.
Didaerah Kendan pernah ditemukan ditemukan
sebuah patung kecil. Para akhli sejarah menyebutnya patung Dewi Durgi. (saat
ini disimpan dimusium Jakarta). Sedangkan di dalam prasasti Jayabupati
disebutkan, bahwa : kekuatan Durgi dianggap kekuatan Gaib. Dalam cerita Lutung
Kasarung, Nini Dugi dianggap berasal dari Kanekes.
Keberadaan patung Durga ditempat pamujaan
menimbulkan spekulasi dari beberapa akhli sejarah. Pleyte (1909) mensinyalir
daerah tersebut termasuk daerah “Kabuyutan”. Sama dengan daerah Mandala, atau
Kabuyutan yang ada diwilayah Cukang Genteng, dekat Ciwidey Kabupaten Bandung.
Kerajaan Kendan selain dikenal melalui gerabah
purbakalanya juga disebut-sebut di dalam Naskah Carita Parahyangan dan Naskah
Wangsakerta. Kedua sumber dianggap duplikasi dari Pararatwan Parahyangan.
Sayangnya Pararatwan Parahyangan saat ini tidak diketahui rimbanya. Namun
karena dijadikan sebagai naskah rujukan maka Pararatwan Parahyangan dipastikan
keberadaannya lebih tua dari Naskah Carita Parahyangan dan Naskah Wangsakerta.