Terdapat
berbagai penelitian yang terkait dengan
bahasa, pikiran, ideologi, dan media massa cetak di Indonesia. Anderson (1966,
1984) meneliti pengaruh bahasa dan
budaya Belanda serta Jawa dalam perkembangan bahasa politik Indonesia modern,
ketegangan bahasa Indonesia yang populis dan bahasa Indonesia yang
feodalis. Naina (1982) tentang perilaku
pers Indonesia terhadap kebijakan pemerintah seperti yang termanifestasikan dalam
Tajuk Rencana. Hooker (1990) meneliti model wacana zaman orde lama dan orde
baru. Penelitian tabor Eryanto (2001) tentang analisis teks di media massa.
Dari puluhan penelitian yang breakout dengan pers, tenyata belum terdapat
penelitian yang secara khusus memformulasikan karakteristik (ideal) bahasa
jurnalistik berdasarkan induksi karakteristik
bahasa pers yang termanifestasikan dalam kata, kalimat, dan wacana.
Di awal tahun 1980-an terbersit berita bahwa bahasa
Indonesia di media massa menyimpang dari kaidah bahasa Indonesia baku. Roni
Wahyono (1995) menemukan kemubaziran bahasa wartawan di Semarang dan Yogyakarta
pada aspek gramatikal (tata bahasa), leksikal (pemilihan kosakata) dan
ortografis (ejaan). Berdasarkan aspek kebahasaan, kesalahan tertinggi yang
dilakukan wartawan terdapat pada aspek gramatikal dan kesalahan terendah pada
aspek ortografi. Berdasarkan jenis berita, berita olahraga memiliki frekuensi
kesalahan tertinggi dan frekuensi kesalahan terendah pada berita kriminal.
Penyebab wartawan melakukan kesalahan bahasa dari faktor penulis karena
minimnya penguasaan kosakata, pengetahuan kebahasaan yang terbatas, dan kurang bertanggung jawab
terhadap pemakaian bahasa, karena kebiasaan lupa dan pendidikan yang belum
baik. Sedangkan faktor di luar penulis, yang menyebabkan wartawan melakukan
kesalahan dalam menggunakan bahasa Indonesia karena keterbatasan waktu menulis,
lama kerja, banyaknya naskah yang dikoreksi, dan tidak tersedianya redaktur
bahasa dalam surat kabar.
Walaupun
di dunia penerbitan telah ada buku-buku jurnalistik praktis karya Rosihan Anwar
(1991), Asegaf (1982), Jacob Oetama (1987), Ashadi Siregar, dll, namun masih
perlu dimunculkan petunjuk akademik maupun teknis pemakaian bahasa jurnalistik.
Dengan mengetahui karakteristik bahasa pers Indonesia—termasuk sejauh mana
mengetahui penyimpangan yang terjadi, kesalahan dan kelemahannya,-- maka akan
dapat diformat pemakaian bahasa jurnalistik yang komunikatif.
Terdapat
beberapa penyimpangan bahasa jurnalistik dibandingkan dengan kaidah bahasa
Indonesia baku:
1.
Peyimpangan morfologis. Peyimpangan ini sering terjadi dijumpai pada
judul berita surat kabar yang memakai kalimat aktif, yaitu pemakaian kata kerja
tidak baku dengan penghilangan afiks. Afiks pada kata kerja yang berupa prefiks
atau awalan dihilangkan. Kita sering menemukan judul berita misalnya, Polisi Tembak Mati Lima Perampok Nasabah
Bank. Israil Tembak Pesawat Mata-mata. Amerika Bom Lagi Kota Bagdad.
2.
Kesalahan sintaksis. Kesalahan berupa pemakaian tatabahasa atau
struktur kalimat yang kurang benar sehingga sering mengacaukan pengertian. Hal
ini disebabkan logika yang kurang bagus. Contoh: Kerajinan Kasongan Banyak Diekspor Hasilnya Ke Amerika Serikat.
Seharusnya Judul tersebut diubah Hasil
Kerajinan Desa Kasongan Banyak Diekspor Ke Amerika. Kasus serupa sering dijumpai baik di
koran lokal maupun koran nasional.
3. Kesalahan kosakata.
Kesalahan ini sering dilakukan dengan alasan kesopanan (eufemisme) atau
meminimalkan dampak buruk pemberitaan. Contoh: Penculikan Mahasiswa Oleh Oknum
Kopasus itu Merupakan Pil Pahit bagi ABRI. Seharusnya kata Pil Pahit diganti kejahatan. Dalam konflik Dayak- Madura, jelas
bahwa yang bertikai adalah Dayak dan Madura, tetapi wartawan tidak menunjuk
kedua etnis secara eksplisit. Bahkan di era rezim Soeharto banyak sekali
kosakata yang diekspose merupakan
kosakata yang menekan seperti GPK, subversif, aktor intelektual, ekstrim kiri,
ekstrim kanan, golongan frustrasi, golongan anti pembangunan, dll. Bahkan di
era kebebasan pers seperti sekarang ini, kecenderungan pemakaian kosakata yang
bias makna semakin banyak.
4. Kesalahan ejaan. Kesalahan
ini hampir setiap kali dijumpai dalam surat kabar. Koran Tempo yang terbit 2
April 2001yang lalu tidak luput dari berbagai kesalahan ejaan. Kesalahan ejaan
juga terjadi dalam penulisan kata, seperti: Jumat ditulis Jum’at, khawatir
ditulis hawatir, jadwal ditulis jadual, sinkron ditulis singkron, dll.
5. Kesalahan pemenggalan.
Terkesan setiap ganti garis pada setiap kolom kelihatan asal penggal saja.
Kesalahan ini disebabkan pemenggalan bahasa Indonesia masih menggunakan program
komputer berbahasa Inggris. Hal ini sudah bisa diantisipasi dengan program
pemenggalan bahasa Indonesia.
Untuk
menghindari beberapa kesalahan seperti diuraikan di atas adalah melakukan
kegiatan penyuntingan baik menyangkut pemakaian kalimat, pilihan kata, dan
ejaan. Selain itu, pemakai bahasa jurnalistik yang baik tercermin dari
kesanggupannya menulis paragraf yang baik. Syarat untuk menulis paragraf yang
baik tentu memerlukan persyaratan menulis kalimat yang baik pula. Paragraf yang
berhasil tidak hanya lengkap pengembangannya tetapi juga menunjukkan kesatuan
dalam isinya. Paragraf menjadi rusak
karena penyisipan-penyisipan yang tidak bertemali dan pemasukan kalimat
topik kedua atau gagasan pokok lain ke dalamnya.
Oleh karena itu seorang
penulis seyogyanya memperhatikan pertautan dengan (a) memperhatikan kata ganti;
(b) gagasan yang sejajar dituangkan dalam kalimat sejajar; manakala sudut
pandang terhadap isi kalimat tetap sama, maka penempatan fokus dapat dicapai
dengan pengubahan urutan kata yang lazim dalam kalimat, pemakaian bentuk aktif
atau pasif, atau mengulang fungsi khusus. Sedangkan variasi dapat diperoleh
dengan (1) pemakaian kalimat yang berbeda
menurut struktur gramatikalnya; (2) memakai kalimat yang panjangnya
berbeda-beda, dan (3) pemakaian urutan unsur kalimat seperti subjek, predikat,
objek, dan keterangan dengan selang-seling. Jurnalistik “gaya Tempo”
menggunakan kalimat-kalimat yang pendek dan pemakaian kata imajinatif. Gaya ini
banyak dipakai oleh berbagai wartawan yang pernah bersentuhan dengan majalah
Tempo.
Agar penulis mampu
memilih kosakata yang tepat mereka dapat memperkaya kosakata dengan latihan
penambahan kosakata dengan teknik sinonimi, dan antonimi. Dalam teknik sinonimi
penulis dapat mensejajarkan kelas kata yang sama yang nuansa maknanya sama atau
berbeda. Dalam teknik antonimi penulis bisa mendaftar kata-kata dan lawan
katanya. Dengan cara ini penulis bisa memilih kosakata yang memiliki rasa dan
bermakna bagi pembaca. Jika dianalogikan dengan makanan, semua makanan memiliki
fungsi sama, tetapi setiap orang memiliki selera makan yang berbeda. Tugas
jurnalis adalah melayani selera pembaca dengan jurnalistik yang enak dibaca dan perlu. (Slogan Tempo).
Goenawan Mohamad pada
1974 telah melakukan “revolusi putih” (Istilah Daniel Dhakidae) yaitu melakukan
kegiatan pemangkasan sekaligus pemadatan makna dan substansi suatu berita.
Berita-berita yang sebelumnya cenderung bombastis bernada heroik--karena
pengaruh revolusi—dipangkas habis menjadi jurnalisme sastra yang enak dibaca.
Jurnalisme semacam ini setidaknya menjadi acuan atau model koran atau majalah
yang redakturnya pernah mempraktikkan model jurnalisme ini. Banyak orang
fanatik membaca koran atau majalah
karena gaya jurnalistiknya, spesialisasinya, dan spesifikasinya. Ada
koran yang secara khusus menjual rubrik opini, ada pula koran yang
mengkhususkan diri dalam peliputan berita. Ada pula koran yang secara khusus
mengkhususkan pada bisnis dan iklan. Jika dicermati, sesungguhnya, tidak ada
koran yang betul-betul berbeda, karena biasanya mereka berburu berita pada
sumber yang sama. Jurnalis yang bagus, tentu akan menyiasati selera dan pasar
pembacanya.
Dalam hubungannya dengan
prinsip penyuntingan bahasa jurnalistik terdapat beberapa prinsip yang
dilakukan (1) balancing, menyangkut
lengkap-tidaknya batang tubuh dan data tulisan, (2) visi tulisan seorang
penulis yang mereferensi pada penguasaan atas data-data aktual; (3) logika
cerita yang mereferensi pada kecocokan; (4) akurasi data; (5) kelengkapan data,
setidaknya prinsip 5wh, dan (6) panjang pendeknya tulisan karena keterbatasan
halaman.